Jakarta (ANTARA) - Stop TB Partnership Indonesia (STPI) menyebut bahwa Tuberkulosis Resisten Obat (TBC-RO) bukan hanya persoalan penyakit, namun juga harus dilihat sebagai persoalan multidimensi yang meliputi psikologis, sosial, dan ekonomi.
"Tuberkulosis, terlebih untuk TBC-RO, itu bukan hanya persoalan penyakit atau kesehatan, melainkan persoalan multidimensi baik psikologis, sosial maupun ekonomi," kata Koordinator Tim Peneliti STPI Ninik Annisa dalam media briefing yang digelar virtual, diikuti di Jakarta, Selasa.
TBC-RO merupakan kondisi saat bakteri mycobacterium tuberculosis kebal terhadap obat anti TB. Kondisi ini disebabkan karena ketidakpatuhan pasien terhadap prosedur pengobatan Tuberkulosis Sensitif Obat (TB-SO), gangguan penyerapan obat, atau tertular dari pasien TB-RO lain.
Ninik menjelaskan, pihaknya telah melakukan riset menggunakan metode penelitian kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif (mixed methods).
Baca juga: BRIN ciptakan alat pendeteksi tuberkulosis di dalam dan luar paru-paru
Untuk kuantitatif, pihaknya melakukan survei kepada 332 responden yang merupakan orang dengan TBC-RO di 10 kota, sedangkan untuk kualitatif pihaknya melakukan literatur review dan kajian kebijakan serta interview dan focus group discussion (FGD).
Dena Sundari yang merupakan salah satu anggota tim peneliti STPI mengemukakan bahwa 77 persen responden berada dalam kategori miskin, yakni memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta (54 persen) dan Rp2-3 juta (23 persen).
"Namun, hanya 23 persen dari mereka yang menerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun 2020," kata Dena.
Padahal, kata dia, menurut Estro pada tahun 2021, 81 persen orang dengan TBC-RO mengalami kondisi katastropik atau membutuhkan perawatan serta pemulihan yang berkepanjangan yakni 9-24 bulan, yang menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan maupun kemampuan produktif.
Sementara itu, pengeluaran rumah tangga mereka bertambah setidaknya 20 persen setiap bulan karena harus melakukan pengobatan.
Baca juga: Dokter: Skrining penyakit tuberkulosis perlu terus digencarkan
Ia juga menjelaskan bahwa TBC-RO membuat pengidapnya mengalami kurang berat badan, lemas, dan lunglai, serta mengalami efek samping obat seperti diare, nyeri otot, kesemutan, hingga ketidakmampuan atau disabilitas tubuh seperti berkurangnya kemampuan pendengaran atau penglihatan.
"Tapi perlu diketahui juga bahwa efek sampingnya berbeda pada setiap individu," katanya.
Dari segi psikis, kata dia, orang dengan TBC-RO bisa mengalami depresi dan gangguan cemas, halusinasi, putus asa dan ingin berhenti berobat, hingga adanya keinginan bunuh diri. Sedangkan dari sisi sosial, mereka mendapatkan stigma dan diskriminasi sehingga memiliki perasaan malu dan mengisolasi diri.
Melihat kondisi tersebut, ia mengatakan bahwa orang dengan TBC-RO perlu mendapatkan jaminan atau perlindungan sosial. Apalagi, kata dia, diperkirakan ada 824 ribu orang sakit TBC di Indonesia setiap tahun dan 24 ribu di antaranya berada pada kondisi TBC-RO.
"Keberhasilan pengobatan TBC-RO ini masih di bawah 50 persen. 50 persen laginya ke mana? Berarti mereka berhenti pengobatan dan ini masih jadi PR kita," ujar Dena.
Baca juga: Pakar sebut delapan aspek penting pengendalian tuberkulosis
"Dan kenapa (jaminan sosial) penting sekali? Karena ternyata, by research dan best practice dari negara-negara lain di luar, bantuan perlindungan sosial bagi TBC-RO ini ternyata bisa meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatannya hingga sembuh dan memutus mata rantai penularan di masyarakat," katanya.
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022