Jakarta (ANTARA News) - Tragedi tabrakan Kereta Api (KA) Sembrani dan Kertajaya di Stasiun Gubuk, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah dinilai sebagai cermin gagalnya pembinaan Sumberdaya Manusia (SDM) baik oleh operator maupun regulator (pemerintah). "Tabrakan itu kalau benar disebabkan kelalaian maka seharusnya ini tak perlu terjadi karena sangat sederhana yakni memberangkatkan KA tanpa mengetahui dari arah berlawanan sudah aman atau tidak. Atau memasukkan KA tapi tak yakin bahwa kondisi stasiun sudah aman. Inilah kegagalan itu," kata Direktur Eksekutif Indonesian Railway Watch (IRW), Taufik Hidayat saat dihubungi di Jakarta, Sabtu. Pernyataan tersebut terkait dengan tabrakan kedua KA itu pada Sabtu dini hari dan menyebabkan sedikitnya 14 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Taufik menegaskan, dengan demikian, petugas di garis depan bisa dikatakan tidak menguasai aturan dasar operasional. Selama ini ternyata manajemen PT KA gagal melakukan pembinaan keterampilan SDM di garis depan itu. "Dephub sebagai regulator juga telah gagal dalam melakukan pembinaan dalam bentuk pengecekan keahlian petugas di garis depan secara kontinyu atau tidak hanya ketika terjadi kecelakaan KA saja. Ini baru satu operator saja Dephub sudah kewalahan, lalu nanti bagaimana kalau sudah banyak operator yang masuk dalam bisnis KA?" tukas Taufik geram. Masalahnya, kata Peneliti Perkeretaapian LIPI ini, kegagalan pembinaan manajemen PT KA ini telah berakibat pada melayangnya nyawa orang yang menggunakan jasa layanan KA. Oleh karena itu, Taufik menilai setelah kecelakaan tak cukup dengan hanya meminta maaf dan bila perlu manajemen mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral sebagaimana dicontohkan manajemen sebelumnya yakni ketika Dirut PT KA dijabat Edie Haryoto (2000) dan Badar Zaenie (2001), bahkan juga saat Dirjen Perhubungan Darat dijabat oleh Santo Budiono. Taufik juga menyesalkan adanya informasi bahwa saat evakuasi korban dilakukan, ternyata banyak ditemukan korban tewas berada di kabin masinis. "Ini kesalahan yang sangat fatal karena itu daerah terlarang bagi siapa pun, bahkan direksi pun walau punya brevet masinis dan bisa memasuki semua tempat di `premises` KA, masih harus mengisi `form` khusus untuk bisa ikut di kabin," kata Taufik. Dia menilai hal itu akibat sudah demikian rendahnya disiplin dan kesejahteraan pegawai juga rendah, sehingga kabin masinis juga diobyekkan.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006