Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani mengapresiasi komitmen Presiden Joko Widodo bahwa pekerja migran Indonesia (PMI) harus mendapat perlindungan dan perhatian maksimal.

Menurut Christina, perhatian Jokowi perlu diikuti langkah-langkah konsisten dari semua pihak sehingga pendataan dan upaya menghapus pengiriman PMI secara ilegal dapat berhasil dengan baik.

"Kita patut mengapresiasi perhatian Presiden terhadap PMI. Dua hal ditekankan Presiden dalam arahannya, yaitu pendataan dan menghilangkan praktek-praktek pengiriman PMI secara ilegal," kata Christina di Jakarta, Selasa.

Dia menilai pendataan PMI memerlukan sinergisme berbagai pemangku kepentingan, seperti Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang mencatat PMI berangkat melalui jalur resmi.

Namun, menurut dia, untuk PMI yang sudah berada di luar negeri dan berstatus ilegal, pendataan hanya mungkin dilakukan oleh kantor perwakilan, seperti Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), melalui lapor diri WNI dan pemutakhiran data.

"Yang menjadi permasalahan selama ini adalah tidak semua WNI mau melakukannya, padahal sudah diwajibkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan dapat dikenakan denda administratif. Ini patut jadi perhatian, perlu sosialisasi masif agar lapor diri bisa dijalankan seluruh WNI kita di luar negeri," jelasnya.

Baca juga: Jokowi berpesan pekerja migran Indonesia menabung agar bisa beli rumah

Christina mengatakan pendataan PMI penting dilakukan karena dengan data yang akurat dapat membantu upaya negara memastikan perlindungan WNI di luar negeri.

Menurut dia, Komisi I DPR sudah sejak 2019 menyuarakan urgensi pendataan PMI, sehingga DPR sangat mendukung ketika Presiden Jokowi mengangkat hal tersebut dan mendorong BP2MI untuk membantu melakukan pendataan pekerja migran di luar negeri.

Christina juga meminta komitmen semua pihak untuk sama-sama memberantas praktik ilegal pengiriman PMI yang selama ini masih marak terjadi.

"Ini adalah kerja kolektif banyak pihak, tidak bisa hanya BP2MI karena pengiriman PMI ilegal sudah menjadi sindikat yang sekian lama beroperasi bahkan diduga melibatkan aparat. Presiden sudah beri arahan, tinggal langkah-langkah teknis seperti apa. Itu yang kami tunggu," katanya.

Dia meminta Pemerintah memastikan pengawasan di "jalur-jalur tikus" dan tempat pemberangkatan resmi, seperti bandara dan pelabuhan. Selain itu, Pemerintah harus menyediakan skema jalur pemberangkatan resmi melalui skema G2G maupun P2P.

"Selain itu, tentu saja TNI, Polri, BP2MI, Kemlu, imigrasi, dan pihak terkait lainnya harus kompak, bersinergi untuk menyelesaikan pekerjaan besar ini," tegasnya.

Baca juga: Kemenaker dan BP2MI lebih berhati-hati dan taati aturan pekerja migran

Senin (17/10), Presiden Joko Widodo melepas PMI ke Korea Selatan untuk bekerja melalui skema kerja sama antar-pemerintah.

Dalam acara pelepasan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jokowi mengatakan pekerja yang diberangkatkan ke Korea Selatan lewat skema kerja sama antar-pemerintah merupakan pekerja berpendidikan serta memiliki kompetensi dan keterampilan.

Dia meminta kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI, mempersiapkan pemenuhan permintaan tersebut serta memastikan tenaga kerja yang dikirim betul-betul memiliki keahlian dan keterampilan.

"Ini tugas besar bagi Bu Menaker dan Pak Kepala BP2MI, sehingga betul-betul pekerja-pekerja terampil dengan skill tinggi ini harus benar-benar kita siapkan," ujar Presiden Jokowi.

Jokowi juga menyoroti masih banyaknya pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri tanpa melalui prosedur legal. Menurut dia, saat ini baru separuh dari sekitar sembilan juta PMI yang bekerja di luar negeri tercatat sebagai pekerja legal. Dia mendorong BP2MI mendata seluruh pekerja Indonesia di luar negeri dan mengurangi jumlah pekerja migran ilegal.

Baca juga: Menaker: Pekerja migran Indonesia cukup diminati beberapa negara

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022