sikap toleran masyarakat Gorontalo berakar dari kearifan-kearifan tersebut.

Gorontalo (ANTARA) - Ancaman radikalisme di Provinsi Gorontalo belum sepenuhnya lenyap. Bahkan, pada Juni 2022 Kepala Unit Intelijen Satgaswil Gorontalo Densus 88 Saffan A. menyebut potensi radikalisme dan terorisme di provinsi ini meningkat.

Data menunjukkan pada tahun 2020 terdapat tujuh terduga teroris diamankan di wilayah Kabupaten Pohuwato, sedangkan pada tahun 2022 tercatat 11 orang terduga teroris ditangkap aparat.

Kendati disebut rawan radikalisme, penelitian independen yang dilakukan oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menunjukkan gambaran yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2021 itu bertujuan untuk mendiagnosis kecenderungan sikap fundamentalisme pemeluk Islam di Gorontalo.

Kepala Bidang Riset FKPT Provinsi Gorontalo Lukman A.R. Laliyo menyatakan fundamentalisme agama merupakan kecenderungan sikap tidak toleran dalam beragama, menafsirkan teks sakral secara tertutup, disertai dukungan kekerasan dalam menjalankan ajaran agama.

Ada beberapa akibat yang biasanya muncul dari sikap fundamentalis ini, misalnya, menimbulkan prasangka dan kebencian antarumat beragama, mengarahkan pada politik identitas, serta antitoleransi dan keberagaman.

“Umumnya fundamentalis memiliki persepsi yang mutlak benar, eksklusif, berkelompok, dan menganggap pemerintah sebagai thagut atau sesuatu yang disembah selain Allah,” ujarnya.

Provinsi Gorontalo mayoritas berpenduduk muslim. Pada tahun 2021, jumlah penduduk muslim di daerah ini tercatat 1.017.396 jiwa atau 97,81 persen dari total penduduk.

Hasil penelitian terhadap 427 responden beragama Islam di Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa muslim di daerah tersebut cenderung memiliki komitmen pada NKRI, toleransi, serta menerima Pancasila dan UUD 1945 menjadi bagian dari sikap dan pemahamannya sebagai warga negara.

Data lainnya menggambarkan bahwa responden muslim cenderung taat beragama, moderat, dan menghargai keberagaman.

Hal lainnya yang ditemukan dalam riset itu adalah para responden sangat memegang teguh keyakinan atas kebenaran agama, meskipun masih sulit untuk menerima pemimpin yang berbeda agama.

Doktor di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) itu juga mengungkapkan adanya kecenderungan para responden tidak menyetujui sikap fundamentalisme agama.

Ini menjadi modal Gorontalo dalam menangkal gerakan radikalisme. Masyarakatnya memiliki karakter kuat sehingga tidak mudah terpengaruh atau larut dalam aksi-aksi terorisme. Adapun terduga teroris yang ditangkap di Gorontalo beberapa waktu lalu, mereka adalah pendatang dan berakulturasi di daerah ini.

Meski demikian, lembaga itu itu masih ingin mengembangkan penelitian tersebut, untuk menelusuri faktor-faktor yang membentuk tatanan masyarakat Gorontalo menjadi toleran.

Sikap toleran penduduk Gorontalo diperkirakan berkaitan dengan kearifan-kearifan lokal yang masih terus dilakoni dalam kehidupan sehari-hari.

Kearifan Lokal
Pakar tradisi lisan Gorontalo Profesor Nani Tuloli mengungkapkan ciri khas orang Gorontalo adalah terbuka pada hal-hal baru, tidak tertutup dengan kedatangan budaya atau suku bangsa lain terutama dalam berbagai kegiatan kemanusiaan.

Selama ini daerah dan masyarakat Gorontalo termasuk aman dan damai. Pada peristiwa 23 Januari 1942 ketika orang Gorontalo merebut kemerdekaan dari tangan Belanda, dilakukan dengan cara manusiawi sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Bahkan bekas penjajah dan keluarganya dijamin keamanannya.

Selain itu hubungan antara anggota keluarga, tetangga, dan kekerabatan di Gorontalo sangat erat, yang tampak pada beberapa tradisi yang masih diterapkan hingga saat ini.

Filosofi kerja sama dalam budaya Gorontalo diungkapkan dengan kata-kata arif Potutulungia to’u mopiohu, bo dilla poheinga to u moleeto atau bertolong-tolonglah dalam kebaikan, tetapi jangan berserikat dalam keburukan.

Salah satu bentuk kerja sama yang menjadi kearifan lokal Gorontalo adalah huyula atau gotong royong.

Huyula biasanya dilakukan saat ada warga yang membangun rumah, mengerjakan sawah, membersihkan saluran, membangun jalan atau jembatan, hingga membangun masjid.

Masyarakat di daerah ini juga masih mempraktikkan heeluma, yaitu kesepakatan bersama dalam mendirikan organisasi yang dapat mendatangkan keuntungan bersama, seperti perdagangan maupun melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan.

Ada juga tradisi yang disebut hiimbunga atau berhimpun saat mengerjakan sesuatu, misalnya, petani berhimpun membuka areal pertanian di suatu tempat maupun para pedagang mendirikan koperasi.

Jadi, sikap toleran masyarakat Gorontalo berakar dari kearifan-kearifan tersebut.

Sosiolog Gorontalo Funco Tanipu juga punya pendapat sama. Toleransi di Gorontalo berbasis pada prinsip tolopani, yaitu semangat saling menghargai, memuliakan sesama manusia tanpa membedakan identitas masing-masing.

Masyarakat Gorontalo juga punya kearifan sendiri dalam menangani konflik sosial. Misalnya, ada yang disebut dengan dudula atau saling mendekat. Jika ada masalah, sering kali yang turun menangani adalah tetua-tetua dalam kelompok keluarga tersebut.

Penanganan konflik itu dilakukan dengan mediasi dan musyawarah dalam sebuah forum yang dikenal dengan dulohupa.

Kalaupun muncul percikan intoleransi di daerah lain, biasanya mencuat dari ketidakadilan dalam distribusi ekonomi. Namun hal itu tidak terjadi di Gorontalo.

Ada keadilan dalam ekonomi yang dipraktikkan selama ratusan tahun, misalnya, warga non-muslim tetap memiliki hak sesuai kerjanya. Jadi, tidak ada sentimen negatif dalam distribusi ekonomi.

Memperkuat Desa
Untuk memahami Gorontalo dan sistem sosialnya sebenarnya tidak diperlukan teori rumit, termasuk bagi orang luar daerah.

Orang-orang di desa, menurut analisis Funco, memiliki perangkat pongorasa atau semacam local feeling yang dapat mendeteksi secara dini adanya teroris di Gorontalo. Setiap ada orang baru di desa, pasti diajak bergaul dan ditelusuri asal-usul, pekerjaan, maupun aktivitasnya.

Pertanyaan demi pertanyaan diajukan kepada orang baru di desa karena tipe desa di Gorontalo memiliki kekerabatan yang kuat. Hampir semua orang desa saling mengenal. Kekerabatan yang disebut ngala’a ini menjadi sistem sosial untuk mengenali dan memahami tentang orang baru di desa.

Kearifan ngala’a masih kuat di Gorontalo, namun perangkat sistem ini dikhawatirkan mulai kehilangan daya deteksinya di kampung-kampung yang mulai membuka diri dengan adanya perumahan baru.

Di kompleks perumahan, orang biasanya saling mengenal tapi interaksinya rendah. Di masyarakat yang interaksinya rendah inilah biasanya teroris bisa tinggal sekian lama tanpa terdeteksi.

Oleh karena itu, kearifan-kearifan lokal tetap harus dirawat dengan menerapkannya pula di kompleks perumahan baru yang pemukimnya lebih heterogen.

Apalagi 600 desa lebih yang bernaung di Provinsi Gorontalo ini memiliki praktik kearifan dan kultur yang mirip, yang selama ini terbukti mampu memelihara harmoni masyarakat.

Alhasil, kearifan-kearifan lokal tersebut tetap melekat dan tumbuh sehingga memperkuat desa sebagai benteng ideologi yang tangguh mencegah penyebaran radikalisme.






Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022