Semarang (ANTARA) - Di tengah tahapan verifikasi faktual terhadap sembilan dari 18 partai politik yang lolos verifikasi administrasi calon peserta Pemilu 2024, muncul kembali wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD. Hak pilih rakyat pun terancam hilang.
Sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pilkada. Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, merupakan daerah pertama menyelenggarakan pilkada, tepatnya pada bulan Juni 2005.
Jika tidak ada perubahan sistem pilkada, pada tahun 2024 bakal berlangsung megapesta demokrasi sepanjang sejarah kepemiluan di Tanah Air. Pilkada serentak ini akan dilaksanakan di 33 provinsi dan di 508 kabupaten/kota, atau hanya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta lima kota dan satu kabupaten di Provinsi DKI Jakarta yang tidak ada pesta demokrasi 5 tahunan itu.
Wacana pilkada tidak langsung ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Mereka yang setuju kepala dan wakil kepala daerah dipilih kembali oleh DPRD, acuannya adalah Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) Pasal 18 ayat (4).
Dalam ayat (4) disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dengan demikian, kedua sistem yang kini diperdebatkan tidak langgar konstitusi.
Peluang untuk mengubah sistem pemilihan secara langsung menjadi tidak langsung memang terbuka lebar. Apalagi, masih ada kesempatan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Ditambah lagi, peluang merevisi undang-undang ini masih ada karena terdapat dalam Daftar Perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Rancangan Undang-Undang (RUU) 2020—2024 pada nomor 160. Sebelumnya, UU Pilkada telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali (melalui UU No. 8 Tahun 2015, UU No. 10 Tahun 2016, dan terakhir UU No. 6 Tahun 2020).
Apakah akan membuat undang-undang baru tentang pemilihan kepala daerah, merevisi sejumlah pasal dalam UU No. 1 Tahun 2015, atau melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mengubah sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat yang telah berjalan selama 17 tahun ini?
Pemerintah dan DPR RI jika ingin merevisi atau mencabut sejumlah pasal pada UU Pilkada maupun UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bisa pula menggunakan metode omnibus. Apalagi mengubah dan/atau mencabut kemudian menggabungkannya ke dalam satu undang-undang sudah ada ketentuannya dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam metode omnibus, penyusunan peraturan perundang-undangan dengan memuat materi muatan baru; mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dengan demikian, banyak jalan menuju Roma bagi pengusul perubahan sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD.
Akan tetapi, sebelum Pemerintah dan DPR RI mengubah sistem tersebut, seyogianya menyampaikan kepada publik terlebih dahulu seberapa besar penghematan pengeluaran biaya negara dengan sistem tidak langsung dalam pilkada. Selain itu, publik perlu tahu kelebihan dan kekurangan kedua sistem tersebut.
Perlu pula ada aturan yang jelas dan tegas terhadap pasangan calon yang bersekongkol dengan anggota DPRD. Misalnya, sanksi berupa diskualifikasi terhadap pasangan calon, hukuman penjara, dan pencabutan hak politik. Begitu pula, terhadap anggota dewan yang terlibat dalam kongkalikong itu, selain hukuman penjara, hak politik yang bersangkutan dicabut.
Dalam Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya, antara lain, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
Di lain pihak perlu pengkajian yang mendalam dan cermat terkait dengan korelasi pemilihan secara langsung oleh rakyat dan banyak kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan alasan pilkada berbiaya tinggi, sejumlah oknum kepala daerah melakukan pelbagai cara untuk mengembalikan "modal politik". Modusnya pun macam-macam. Ada oknum kepala daerah yang terlibat kasus jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan daerah setempat. Ada pula yang tersandung kasus suap perizinan, gratifikasi, pengadaan barang dan jasa, hingga melakukan tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan pemberitaan di antaranews.com (15 Agustus 2022), sepanjang tahun 2022 atau terhitung Januari hingga Agustus, terdapat delapan kepala daerah yang ditangkap oleh KPK. Jumlah tersebut termasuk mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti yang saat penangkapan baru purnatugas dan masih menempati rumah dinas.
Terakhir, KPK melakukan OTT terhadap Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo. Penangkapan terhadap Mukti ini sekaligus menambah daftar panjang kepala daerah yang berurusan dengan lembaga antirasuah tersebut.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, mendekati Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, tren korupsi dari 2017 sampai 2018 meningkat hingga dua kali lipat. Berdasarkan data KPK, pada tahun 2017 setidaknya 14 kepala daerah dijerat KPK dan pada tahun 2018 naik tajam menjadi 32 kepala daerah.
Ada dugaan tren peningkatan tersebut tidak lepas dari mahalnya biaya politik pada saat yang bersangkutan maju sebagai calon kepala daerah. Kendati demikian, janganlah disalahkan sistemnya. Sebaik apa pun sistem pemilihan, semua kembali pada masing-masing individu.
Copyright © ANTARA 2022