Jakarta (ANTARA) - Dalam belasan bulan atau sekitar 16 bulan ke depan, hari pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan dilangsungkan. Sejauh ini, beberapa tahapan pemilu mulai dilaksanakan oleh pihak penyelenggara, di antaranya pendaftaran partai politik calon peserta pemilu yang tengah memasuki tahap verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di tengah tahapan yang mulai dilaksanakan itu, tidak dapat diabaikan bahwa politik di Tanah Air mulai menghangat. Beberapa partai politik tidak lagi hanya menebar pertanda ke arah mana dukungan menuju pencalonan presiden dilabuhkan, tetapi telah ada pula yang memublikasikan kepada masyarakat sosok-sosok yang mereka dukung menjadi calon presiden.

Tidak berhenti di sana, sebagaimana yang disampaikan oleh anggota DPR RI Maman Imanulhaq, gejolak politik menuju pesta demokrasi pada tahun 2024 itu juga telah terasa sejak sekarang dari narasi sindir-menyindir yang disuarakan oleh pihak-pihak tertentu. Situasi seperti itu menjadi salah satu wujud peringatan dini bahwa polarisasi di masyarakat ataupun adanya antarpendukung peserta pemilu saling menyalahkan dan mencurigai dikhawatirkan bermunculan di tengah-tengah pelaksanaan Pemilu 2024.

Di tengah kekhawatiran tersebut, kesadaran sebagian anak bangsa mengenai pentingnya mengawal Pemilu 2024 yang berkualitas pun mulai bermunculan. Salah satunya hadir pada 17 September 2022 lalu dalam bentuk seruan moral dari 32 rektor atau pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta kepada segenap elemen bangsa Indonesia agar memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 berkualitas dan demokrasi bermartabat.

Dalam seruan moral bertajuk “Pemilu Berkualitas dan Demokrasi Bermartabat” itu, 32 rektor yang di antaranya adalah rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta merumuskan 10 poin yang perlu diupayakan demi menghadirkan Pemilu 2024 yang berkualitas dan demokrasi yang bermartabat. Menurut Maman, seruan moral seperti itu merupakan langkah tepat untuk dilakukan di tengah pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah mulai berlangsung.

Adapun 10 poin tersebut terdiri atas, pertama, ajakan kepada semua komponen bangsa untuk menjadikan pemilu sebagai media pendidikan politik guna membangun moral bangsa yang lebih mengedepankan nilai kejujuran, keteladanan, keadaban kontestasi dalam sistem demokrasi, serta menghindari persaingan politik yang kotor hanya demi kekuasaan.

Kedua, menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjamin pemilu berjalan secara partisipatif bagi seluruh elemen bangsa Indonesia dan tidak dimonopoli oleh segelintir elite politik dan penguasa ekonomi yang mengabaikan kepentingan publik. Ketiga, mengajak seluruh komponen bangsa untuk menghindari politik berbiaya tinggi, mencegah politik uang, dan menolak nepotisme yang semakin mendangkalkan makna pemilu.

Keempat, mengajak seluruh komponen bangsa untuk menghindari jebakan penyalahgunaan identitas dengan politisasi agama, etnis, dan ras yang berpotensi menimbulkan konflik serta kekerasan yang tidak berkesudahan dan merusak persatuan serta kesatuan bangsa.

Kelima, mendesak para elite politik, penguasa ekonomi, partai politik, dan penyelenggara pemilu untuk memberikan keteladanan, berintegritas, dan bermartabat dalam berdemokrasi sesuai dengan amanat konstitusi. Keenam, mendorong seluruh komponen bangsa menjadi warga merdeka yang tidak mudah terpengaruh hasutan, berita bohong atau hoaks, dan ujaran kebencian, ataupun berbagai upaya lain yang menciptakan perpecahan dan pembelahan sosial yang sering terjadi dan berdampak buruk bagi masyarakat.

Ketujuh, menuntut partai politik untuk menjamin akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya serta memastikan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Kedelapan, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan kritis dalam penyelenggaraan bernegara serta bermasyarakat sebagai bentuk kualitas kewarganegaraan.

Kesembilan, mengajak semua komponen bangsa untuk tidak menggunakan kebebasan demokrasi secara manipulatif yang justru berpotensi mencederai hak-hak orang lain atau melanggar konstitusi.

Yang terakhir, 32 rektor itu mengajak seluruh sivitas akademika, masyarakat sipil, dan media massa berperan aktif untuk mengedukasi publik guna meningkatkan literasi demokrasi dan kebangsaan serta mengawasi jalannya kekuasaan.

Mengingatkan dan mengedukasi

Berdasarkan 10 poin itu, Rektor UGM Yogyakarta Ova Emilia menyampaikan bahwa seruan moral tersebut secara garis besar mengingatkan sekaligus mengedukasi bangsa Indonesia bahwa Pemilu 2024 yang berkualitas adalah pemilu yang mengedepankan nilai kejujuran dan keteladanan.

Penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat berkualitas jika para peserta pemilu menunjukkan keadaan kontestasi yang sehat dalam sistem demokrasi, seperti menghindari persaingan yang berdasarkan pada politik “kotor” atau hanya bertujuan pada kekuasaan.

Hal yang melatarbelakangi kemunculan seruan moral itu, Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Albertus Bagus Laksana, menyampaikan bahwa hal tersebut tidak terlepas dari keinginan 32 rektor perguruan tinggi di Yogyakarta untuk menghalau lahirnya dosa-dosa serupa dalam penyelenggaraan pemilu sebelum-sebelumnya.

Dosa-dosa tersebut, di antaranya praktik politik uang, politik identitas, hingga politik memecah belah. Keyakinan para rektor itu, dalam menilai bahwa pelaksanaan pemilu di Tanah Air ini belum kunjung hadir secara berkualitas dan substantif, mendorong mereka untuk menyadarkan seluruh elemen bangsa bahwa mengawal serta memastikan Pemilu 2024 yang berkualitas sekaligus demokrasi yang bermartabat adalah tanggung jawab bersama.

Bahkan, sejauh ini, penyelenggaraan pemilu di Indonesia lebih terasa dominan ditujukan demi mencapai kekuasaan daripada pemilu yang berkualitas dan bersifat partisipatif yang mampu membuat warga negara ikut berperan mewujudkan keadaban, kemajuan, serta kecerdasan bangsa.

Menjaga martabat

Menurut Bagus, demokrasi bermartabat berarti demokrasi yang menghargai warga negara sebagai rakyat dan bertujuan untuk menjaga martabat kemanusiaan, bukan justru untuk kekuasaan ataupun keuntungan bagi kelompok dan identitas tertentu. Dengan demokrasi yang bermartabat, penyejahteraan kehidupan bangsa dapat tercapai.

Dari pemaparan itu, dapat dipahami bahwa demokrasi bermartabat merupakan hasil dari penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, yakni pemilu dengan keadaan kontestasi yang sehat, tanpa persaingan yang berdasarkan pada politik “kotor” atau hanya bertujuan pada kekuasaan.

Demokrasi bermartabat lahir dari pemilu yang menjunjung nilai kejujuran dan keteladanan. Demokrasi bermartabat menghargai pilihan warga negara dalam pemilu berdasarkan potensi yang dimiliki oleh sosok yang mereka pilih untuk menyelenggarakan pemerintahan berikutnya agar mampu menyejahterakan kehidupan bangsa ini.

Selanjutnya, berdasarkan seruan moral tersebut, untuk menghadirkan Pemilu 2024 yang berkualitas, pengamat politik sekaligus Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Budi Setiyono memandang terdapat dua level yang perlu dijadikan sebagai dasar bagi bangsa Indonesia untuk bertindak atau berpikir.

Pertama adalah level substantif. Dalam level pertama ini, semua pihak harus mengetahui dan memahami secara utuh pengertian tentang pemilu. Dengan demikian, tidak ada satu pun pihak yang keliru dalam mengambil perannya, seperti aparatur sipil negara (ASN) yang justru tidak netral di tengah-tengah penyelenggaraan pemilu dengan berpihak pada peserta tertentu.

Di level substantif ini, Budi juga menyampaikan terdapat dua perspektif dalam memandang pemilu. Pertama, melalui perspektif demokrasi, pemilu merupakan wujud kedaulatan rakyat sehingga mereka harus menyadari bahwa pemilu bukan sekadar memilih pemimpin, melainkan juga ekspresi perwujudan kedaulatan rakyat.

Dengan demikian, rakyat pun menyadari bahwa ia memiliki harga diri, kesempatan, dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri di masa yang akan datang sehingga tidak membiarkan haknya itu dijual murah, disalahgunakan, atau diberikan secara sembarang dengan mencoblos calon pemimpin tanpa pertimbangan yang matang.

Berikutnya adalah perspektif bahwa bangsa Indonesia harus menyadari pemilu bukan sekadar memilih pemimpin, melainkan juga suatu proses mengevaluasi penyelenggaraan negara. Ketika bernegara, tentu saja ada kerangka yang dibangun lapis per lapis agar Indonesia menjadi negara yang besar, sejahtera, menyenangkan, dan damai, sebagaimana cita-cita bangsa yang terkandung dalam UUD NRI 1945.

Pada tahun 2024 mendatang, bangsa Indonesia harus mengevaluasi sejauh mana pembangunan negara ini berlangsung dalam mencapai cita-cita besarnya. Negara dapat diibaratkan seperti rumah yang tengah dibangun oleh sang pemiliknya. Sang pemilik tentunya memiliki rancangan bangunan untuk rumah idealnya.

Secara bertahap, rumah itu lalu dibangun, mulai dari pondasi, atap, dinding, pintu, hingga beragam bagian lainnya. Sejalan dengan gambaran tersebut, dalam pemilu, bangsa Indonesia berarti tiba pada masa mengevaluasi pembangunan rumah mereka, yaitu negara Indonesia. Bangsa Indonesia mengevaluasi sejauh mana pembangunan negeri ini dalam mencapai cita-cita besarnya.

Hasil evaluasi itu dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih pihak-pihak yang mampu melanjutkan pembangunan negeri ini.

Kemudian, level kedua adalah prosedural, yaitu mekanisme mewujudkan penyelenggaraan pemilu agar dapat mengakomodasi kebutuhan yang ada pada level substantif. Contohnya, agar penyelenggaraan pemilu sejalan dengan pengertian dan tujuan sesungguhnya, pihak penyelenggara dapat membuat peraturan pelaksanaan pemilu yang bersifat transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Sebagai salah satu pilar demokrasi yang berperan mewujudkan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratis, tentu saja upaya-upaya mengawal pemilu yang berkualitas, sebagaimana dimuat dalam seruan moral tersebut memang perlu dimasifkan agar Pemilu 2024 terselenggara sebagaimana mestinya.

Pemilu 2024 perlu dikawal agar benar-benar berkualitas dalam artian mampu menghasilkan pemerintahan dengan legitimasi yang kuat dan mampu mengemban amanah rakyat dengan sebaik-baiknya. Pada akhirnya, demokrasi yang bermartabat pun dapat terwujud.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022