Ambon (ANTARA) - Puluhan kapal nelayan bermanuver membentuk formasi lingkaran di Teluk Ambon pada parade peringatan HUT Ke-77 TNI pada awal Oktober 2022. Kapal-kapal kecil itu memacu kecepatan untuk lepas dari arak-arakan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) di bawah komando Pangkalan Utama TNI AL IX/Ambon.
`
Atraksi itu seakan menjadi klimaks sailing pass yang menampilkan kehebatan Alutsista TNI-Polri dan unsur maritim lainnya di Provinsi Maluku. Deru mesin kapal-kapal berkapasitas dua GT (Gross Tonase) itu menyeruak ke udara saat para nelayan melakukan aksi balapan berkecepatan tinggi. Mereka mengundang tepuk tangan yang riuh dari penonton dan tamu undangan di pesisir pantai.

Raut muka nelayan terlihat semringah karena ada kebanggaan bisa berpartisipasi di kegiatan itu.

"Tentu saja nelayan senang karena diundang ikut acara sebesar ini dan bangga bisa ikut menjaga laut yang menjadi sumber kehidupan kita orang," kata Pieter Tehupuring sambil tersenyum kepada ANTARA.


Mengenal Rapala

Puluhan nelayan yang berpartisipasi pada peringatan HUT TNI adalah Relawan Penjaga Laut, disingkat Rapala, dan Pieter Tehupuring dipercaya sebagai wakil ketuanya.

Rapala menjadi simpul yang tidak terbantahkan untuk menjaga wilayah laut dan kedaulatan maritim di Indonesia timur, terutama di wilayah Maluku. Butuh keterlibatan banyak orang untuk menjaga Maluku yang merupakan daerah kepulauan dan sebagian besar wilayahnya adalah lautan.

Data Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku menyatakan luas laut Maluku mencapai 658.294 kilometer persegi (KM2) atau setara 92,4 persen dari total luas wilayahnya yang mencapai 712.479 KM2. Bukan hal yang mudah untuk menjaga keamanan di Maluku, belum lagi jumlah pulaunya yang mencapai 1.024 dan 331 di antaranya pulau tak berpenghuni.

Karena itu Maluku bisa dikatakan "rentan" untuk dijaga karena karakteristik geografisnya. Jumlah dan kemampuan TNI, Polri dan unsur maritim lainnya saat ini masih belum sebanding dengan luas wilayah kerjanya. Aktivitas kejahatan, seperti pencurian ikan oleh nelayan asing, peredaran narkoba, hingga penyelundupan senjata, menjadi ancaman yang nyata di daerah tersebut.

Di sisi lain, kesadaran warga di tataran akar rumput untuk menjaga NKRI sebenarnya sudah muncul sejak lama, sebelum Badan Keamanan Laut (Bakamla) Zona Maritim Timur mengakomodir mereka dengan membentuk Rapala pada awal 2022.

Sebelum Rapala dibentuk, Pieter Tehupuring sudah sering berkomunikasi memberikan informasi ke Bakamla.

Pieter Tehupuring, nelayan yang menjadi Wakil Ketua Relawan Penjaga Laut (Rapala) di Kota Ambon, Maluku. (ANTARA/FB Anggoro)

Anggota Rapala terdiri dari 30 orang yang sebagian besar adalah nelayan. Pieter yang berusia 55 tahun asal Negeri (Desa) Silale, Ambon, itu sehari-hari berprofesi sebagai nelayan penjaring ikan yang memiliki dua kapal jenis purse seine, disebut warga setempat dengan kapal tonda.

Sedangkan anggota lainnya berasal dari beberapa negeri (desa) di Kecamatan Nusaniwe, seperti Negeri Amahusu, Silale, Latuhalat, Urimessing dan Dusun Seri. Selain nelayan, yang tergabung di Rapala juga ada tokoh agama dan empat orang mahasiswa.

Anggota Rapala berfungsi menjadi jejaring informasi ketika terjadi kecelakaan kapal maupun saat ada kejahatan di laut. Mereka kerap berkomunikasi menggunakan grup WhatsApp Rapala.

Dari grup tersebut mereka juga mendapat informasi prakiraan cuaca dan tinggi gelombang laut dari Bakamla Zona Maritim Timur. Informasi itu sangat penting untuk nelayan-nelayan kecil agar berhati-hati saat bekerja karena cukup sering terjadi nelayan hilang arah di laut ketika nekad mencari ikan saat cuaca ekstrem.

Sebanyak 30 anggota Rapala tidak hanya berperan penting memberikan informasi kepada Bakamla dan instansi terkait lainnya, karena mereka juga dilatih teknik dasar penyelamatan korban kecelakaan. Menurut Pieter, ilmu itu sangat bermanfaat untuk menolong sesama nelayan apabila terjadi kecelakaan di laut.

Dan semua itu mereka lakukan dengan sukarela karena sebagai anggota Rapala tidak mendapat gaji maupun honor. Kebanggaan sebagai anggota Rapala adalah bisa berkontribusi untuk menjaga laut yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Selain itu, dengan bersatunya nelayan dalam sebuah wadah organisasi akan membuat posisi tawar mereka lebih kuat.

Melalui Rapala nelayan bisa menyuarakan kepentingan untuk meningkatkan kapasitas nelayan-nelayan kecil di Ambon. Seperti saat ini nelayan-nelayan kapal tonda di Ambon kesulitan melaut karena Pemerintah Kota Ambon membatasi penjualan bahan bakar minyak di pangkalan-pangkalan.

Padahal sedikitnya 35 kapal tonda di Kecamatan Nusaniwe, yang merupakan tempat anggota-anggota Rapala berasal, sangat mengandalkan minyak tanah sebagai bahan bakar kapal untuk melaut.


Rapala Teladan

Bagi Kepala Bakamla Zona Maritim Timur Laksamana Haris Djoko Nugroho, pengumpulan data maupun informasi kemaritiman yang didapat lewat sistem satelit, radar, dan basis dari alat pemantau milik negara, tidaklah cukup tanpa keterlibatan masyarakat pesisir.

Karena itu, Rapala di Ambon menjadi role model atau percontohan karena membuka mata semua pihak akan kesadaran warga untuk berkontribusi kepada bangsa dan negara. Keinginan untuk terlibat itu datang dari warga sendiri, sehingga Bakamla memutuskan untuk mengakomodir, mengorganisir, dan membentuk wadah dalam bentuk Rapala.

Rapala di Ambon dibina dan diberi pelatihan tentang keamanan laut, sehingga menjadi ujung tombak untuk deteksi dini dan sumber informasi. Deteksi dini ini bukan hanya untuk kepentingan Bakamla semata, melainkan juga akan bermanfaat untuk komunitas kemaritiman lainnya, seperti TNI AL, Polair dan Basarnas.

Karenanya Rapala bukan hanya alat, tapi juga sumber daya untuk pemantauan.

Pada 2023 Bakamla Zona Maritim Timur berencana mengusulkan pembentukan Rapala di beberapa daerah lain, di antaranya di Kupang (NTT) dan Papua.

Semangat kolaborasi dan kesadaran kolektif dari Rapala di Maluku diharapkan bisa bermuara pada keutuhan NKRI dan peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir agar mereka bisa sejahtera dari kekayaan lautnya yang kerap dicuri.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022