Bengkulu, (ANTARA News) - Profauna Indonesia yang bergerak di bidang perlindungan satwa liar secara tegas mengecam kebijakan Pemprov Bengkulu dan menolak pembangunan Pantai Panjang yang tidak mengedepankan pelestarian lingkungan hidup, karena sebagian kawasan wisata merupakan kawasan konservasi dengan status taman wisata alam.
"Kami mengecam dan menolak pembangunan Pantai Panjang yang tidak mengedepankan pelestarian lingkungan hidup," kata Koordinator Profauna Bengkulu R Tri Paryudhi, di sela aksi demo di Pemprov Bengkulu, Kamis (13/4).
Menurut UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistem, suatu tempat ditetapkan sebagai kawasan konservasi karena mempunyai satwa, flora atau ekosistem yang khas, sehingga perlu dilindungi.
Karena itu setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan konservasi.
Kawasan wisata Pantai Panjang baik yang memiliki status pengelolaan sebagai taman wisata alam maupun tidak harus dipertahankan kelestariannya termasuk keberadaan cemara laut yang membentang sebagai tanaman pelindung.
"Pemprov hendaknya menghormati aturan hukum yang berlaku dan sudah saatnya pemerintah benar-benar memahami dan menerapkan konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan yang selama ini didengungkan, bukan malah merusak lingkungan," ujarnya.
Oleh karena itu, Profauna Indonesia minta kepada Gubernur Bengkulu Agsurin M. Najamudin segera menghentikan rencana pembangunan jalan yang merusak habitat satwa liar di kawasan Pantai Panjang hingga Pulau Baai.
Wacana pembangunan Pantai Panjang sebagai lokasi wisata internasional tanpa mengedepankan aspek ekologi sama saja membawa Bengkulu ke arah bencana, apalagi Bengkulu merupakan salah satu daerah rawan tsunami.
Gubernur dalam menetapkan kebijakannya dinilai tidak berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait, salah satunya Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang punya wewenang dari sebagian kawasan Pantai Panjang.
"Sementara Bapedalda sebagai instansi lingkungan hidup di Pemprov Bengkulu tampak mandul dan tidak berani menyikapi masalah tersebut," kata Tri Paryudhi.
Kebijakan Gubernur tersebut telah melanggar UU No 5/1990, UU No 41/1990 tentang kehutanan, PP 68/1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, UU No 27/1999 tentang Amdal, Kepmen LH No 3/2000 tentang jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal dan UU No 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.(*)
Copyright © ANTARA 2006