“Produsen perlu memberikan peringatan dengan jelas untuk mencantumkan label antimikroba, agar masyarakat tahu jenis antimikroba yang sedang dikonsumsinya,” kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto dalam Media Gathering Bersama WHO dan FAO di Jakarta, Rabu.
Agus menuturkan pemberian label itu dibutuhkan untuk meningkatkan pemahaman semua pihak bahwa resistensi obat merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat global pada masa kini.
"Meskipun pemerintah dalam menghadapi resistensi antimikroba sudah membuat Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang rencana aksi pengendalian resistensi antimikroba sebagai acuan untuk meminimalisir potensi AMR di Indonesia, pemberian label bisa digunakan sebagai pengendalian antimikroba," katanya.
Baca juga: WHO: Cermati resistensi antimikroba hindari penyakit sulit diobati
Menurut dia, resistensi antimikroba dapat mempengaruhi tidak hanya pada kesehatan manusia, tetapi juga kesehatan hewan dan lingkungan. Dengan pemberian label tersebut diharapkan tidak terjadi krisis antibiotika baru pada saat yang bersamaan dengan krisis ekonomi, krisis energi, dan krisis pangan.
“Kita pahami bahwa selama awal pandemi COVID-19, kita mencari pengobatan yang tepat termasuk penggunaan antimikroba ini. Masifnya penggunaan antimikroba di berbagai negara di masa pandemi dikhawatirkan bisa mempercepat terjadinya resistensi,” katanya.
Agus menyebutkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperkirakan lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara pada tahun 2019 secara langsung atau tidak langsung karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
Jika tidak dilakukan pengendalian sejak dini, maka kematian dapat mencapai 10 juta kematian setiap tahunnya hingga tahun 2050. Kematian akibat AMR akan melampaui jumlah kematian akibat penyakit seperti jantung atau kanker.
Baca juga: Kemenkes: Resistensi antimikroba jadi pandemi senyap ancam dunia
Sedangkan pada sisi ekonomi, AMR mampu menciptakan krisis pada dunia seperti pada tahun 2008 lalu, akibat tidak kuatnya treatment infeksi terutama di negara-negara berpenghasilan rendah yang bisa memicu kehilangan lima persen dari GDPnya. Angka ini akan mendorong 28 juta orang di negara berkembang mengalami kemiskinan ekstrem pada tahun 2050.
Agus menekan resistensi antimikroba hampir tidak mungkin untuk bisa dihindari. Namun dapat diperlambat dengan pengendalian yang komprehensif. Salah satunya adalah meningkatkan kesadaran bersama bahwa antimikroba merupakan obat keras yang tak bisa sembarang diakses.
Pendekatan one health juga harus terus diperkuat agar pengendalian kejadian AMR tidak berfokus pada satu sektor saja. Melainkan juga sektor lain seperti kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, termasuk peringatan dan budidayanya yakni rantai makanan pertanian dan sektor lingkungan.
Baca juga: Indonesia bersama FAO ajak masyarakat hati-hati gunakan antimikroba
“Perlu kesadaran penuh dari masyarakat, produsen dan klinikus bahwa penggunaan antimikroba harus benar, baik dan bertanggung jawab. Masyarakat perlu disadarkan bahwa antimikroba adalah obat keras yang tidak bisa diakses setiap saat dan dibeli sembarangan,” tuturnya.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022