Jakarta (ANTARA) - Walau sudah mulai berkurang jumlahnya, tapi jika sempat berjalan-jalan dari Kota Bandung ke Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang namanya sawah pinggir kota masih dapat dijumpai.
Sejak Kecamatan Kadungora hingga ke Kecamatan Tarogong Kaler, tidak sedikit sawah yang bersebelahan dengan pertokoan, rumah, gudang, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), bahkan pabrik sepatu. Semua percaya, sebelum beralih fungsi, di sana pernah terbentang hamparan sawah yang lebih luas lagi.
Nuansa perdesaan sungguh terasa. Di pematang sawah masih ditemukan bebegig sawah (semacam orang-orangan sawah) yang biasa digunakan petani untuk menakut-nakuti hama burung.
Hamparan sawah yang kehijau-hijauan menggambarkan betapa subur makmurnya negeri tercinta ini. Sangat tepat bila Pastor Brower menyebut Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan Tanah Parahiyangan.
Jargon endah Parahiyangan pun muncul menjadi ikon. Tatar Sunda betul-betul penuh pesona dan keindahan.
Persoalan penting yang patut dijadikan percik permenungan adalah apakah dalam beberapa tahun mendatang sawah-sawah ini akan beralih-fungsi?
Kalau hal itu ditengarai bakal terjadi, apakah sudah terpikirkan langkah-langkah nyata apa saja yang seharusnya ditempuh untuk menjaga agar sawah yang ada tidak berubah menjadi kawasan perumahan atau pertokoan, bahkan menjadi pabrik yang berskala dunia?
Jawaban atas pertanyaan ini, tentu sangat dibutuhkan. Sebab, di balik keprihatinan yang ada, bangsa ini dituntut untuk mampu memberikan jalan keluar atas persoalan tersebut.
Sebagai bangsa yang sebagian besar masyarakatnya berpenghidupan dari sektor pertanian dalam arti luas, lahan sawah merupakan kekayaan yang harus diamankan dari berbagai intervensi yang ingin mengubah fungsi utamanya.
Sawah perlu dipertahankan untuk tetap menjadi sawah. Artinya, sebuah kesalahan fatal jika sawah berubah menjadi kawasan industri. Bayangkan, mau menanam padi dimana jika sawah ladang nan subur, disulap menjadi bandara internasional lengkap dengan aero space di sekelilingnya.
Tidak hanya perjalanan ke Garut, dari Bandung ke Cianjur atau ke Sumedang atau ke Purwakarta pun akan ditemukan pemandangan yang serupa.
Hamparan sawah yang luas, dengan aura kekuningan menjelang panen tiba, kini semakin susah dijumpai. Yang ditemukan sekarang adalah pabrik-pabrik besar yang menampung banyak tenaga kerja.
Rata-rata sawah sudah beralih-fungsi, karena tuntutan pembangunan yang tidak berpihak terhadap keberadaan sawah di suatu daerah.
Padahal sebenarnya, sawah adalah investasi kehidupan di masa depan. Berkat sawah, nyawa kehidupan tetap tersambung. Apa jadinya, bila sawah digerus terus-menerus dan berubah fungsi, bangsa ini mau mendapat bahan makanan dari mana.
Itu sebabnya, sedapat mungkin, sawah yang masih tersisa jangan sampai dialihfungsikan kembali. Lebih jauhnya lagi, bangsa ini harus mampu melestarikan sawah yang ada.
"Lestarikan sawah" adalah jargon yang pantas untuk dikumandangkan terus-menerus.
Semangat para pengembang untuk mengalih-fungsikan sawah menjadi permukiman atau perumahan, rupanya tidak pernah mengendor, seiring dengan tuntutan penduduk yang terus meningkat untuk memperoleh tempat tinggal yang layak.
Sawah menjadi pilihan, karena memiliki banyak kelebihan. Salah satunya, pengembang tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk melakukan pengolahan awal di saat pembangunan perumahan akan dilakukan.
Rencana tata ruang
Mencermati fenomena yang demikian, tentu bangsa ini tidak boleh hanya duduk manis sambil melihat maraknya alih fungsi lahan yang ada.
Pada saat inilah dibutuhkan adanya komitmen dari para pengambil kebijakan untuk melakukan pengendalian yang serius terhadap tata ruang.
Siapapun tidak boleh lagi merevisi tata ruang hanya untuk memuaskan kepentingan orang per orang atau kelompok.
Tapi, yang perlu dijadikan dasar pertimbangan utama adalah sampai sejauh mana kemampuan bangsa ini dalam melestarikan investasi kehidupan itu sendiri.
Adanya segelintir oknum yang tergoda bermain-main dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), sesegera mungkin perlu dihentikan.
Jangan sampai hanya untuk memperoleh kepentingan pribadi, sampai harus mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Kongkalikong antara penguasa dengan pengusaha tidak boleh berlanjut. Cukup sampai di sini.
Revisi RTRW memang tidak dilarang untuk dilakukan. Yang disesalkan adalah kalau dalam penetapan RTRW tersebut ada intervensi dari oknum yang ingin mengambil untung dari revisi yang dilakukan.
Dalam revisi RTRW, umumnya jarang pemerintah provinsi, kabupaten/kota yang berkenan untuk menambah jumlah sawah dalam penetapan tata ruang dan wilayah.
Yang terjadi daerah lebih suka mengurangi ruang pertaniannya untuk dijadikan kawasan industri atau disiapkan untuk permukiman dan perumahan.
Dengan kecenderungan yang demikian, dapat dipastikan jumlah luas baku sawah akan berkurang. Jangankan bertambah, untuk mempertahankan ruang pertanian pun, hampir tidak ada daerah yang melakukannya.
Para pengambil kebijakan, perlu menunjukkan keberpihakan kepada sektor pertanian, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan sawah petani.
Bentuk keberpihakan rupanya tidak cukup hanya dengan diterbitkannya regulasi, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana dengan penerapannya di lapangan.
Para penentu kebijakan perlu serius untuk menjaga sawah yang bangsa ini miliki agar tetap terjaga dan terpelihara. Kebijakan melestarikan sawah menjadi langkah strategis yang perlu dipilih.
Fenomena pelepasan sawah oleh para petani, sepertinya penting untuk dicermati bersama. Mengapa sampai muncul kondisi penjualan sawah.
Para petani dengan ikhlas melepas sawah ladang yang dimilikinya hanya sekadar mendukung pembiayaan anak-anak mereka untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Para petani dengan tegas melarang anak-anak mereka menjadi petani. Mereka akan sangat bahagia jika anak-anak mereka dapat diterima menjadi pegawai negeri atau bekerja di perusahaan swasta yang beken.
Semua ini dilakukan oleh para petani, karena menjadi petani pada saat ini, tidak mungkin akan dapat hidup layak dan sejahtera.
Yang mereka rasakan dengan berkiprah menjadi petani padi, hanyalah keprihatinan. Suasana hidup miskin lebih menjerat kehidupannya. Inilah salah satu pertimbangan mengapa mereka melarang anak-anaknya menjadi petani.
Hal ini ditambah lagi dengan fenomena kaum perdesaan yang dalam tahun-tahun belakangan ini, semakin banyak yang enggan menjadi petani.
Mereka lebih memilih untuk menjadi buruh harian lepas di perkotaan, ketimbang terjun ke sawah sambil leledokan dalam leutak (tanah sawah).
Dihadapkan pada suasana yang seperti ini, semua berharap agar pemerintah mampu mencarikan solusi cerdas supaya kaum muda bisa tertarik kembali untuk mau menjadi petani padi dan seiring dengan itu, para petani saat ini pun dapat merasakan kenikmatannya menjadi petani.
Salah satu pandangan yang sepatutnya dicermati lebih dalam, apakah pemerintah mampu membuat "jaminan" yang esensinya bagi siapa yang mau berkiprah jadi petani padi, nasib dan kehidupannya tidak akan sengsara? Menjadi petani padi digaransi akan dapat hidup sejahtera dan bahagia.
Komitmen untuk melindungi lahan sawah sendiri, sebetulnya telah menjadi salah satu kebijakan prioritas Pemerintahan Presiden Jokowi.
Berbagai catatan kritis yang digambarkan dalam uraian tersebut, pada intinya lebih menegaskan apa yang ditempuh pemerintah untuk melindungi sawah petani, telah berada dalam jalur yang benar.
Untuk itu, menjadi tugas dan kewajiban semua secara bersama untuk menjaga dan melestarikan sawah yang masih ada. Kalau gagal, boleh jadi "sawah pinggir kota" tidak mudah untuk dijumpai lagi di negeri ini, padahal sawah adalah daya hidup sektor pangan.
*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2022