dati-hati, dia akan datang lebih cepatJakarta (ANTARA) - Tokoh pendidikan dan pakar teknologi informatika Richardus Eko Indrajit mengatakan bahwa dunia pendidikan perlu bersiap menghadapi era metaverse mengingat perkembangan zaman yang semakin modern dan kemajuan teknologi yang semakin pesat.
"Perkembangan teknologi informasi akan melahirkan berbagai teknologi baru yang mengubah ekosistem pendidikan dan pembelajaran manusia. Kita harus paham bahwa cepat atau lambat, suka atau tidak suka, ekosistem akan sampai sampai ke situ (metaverse)," kata Eko dalam Kuliah Umum Pembelajaran Berbasis TIK (PembaTIK) Level 4 2022 yang digelar daring diikuti di Jakarta, Selasa.
"Dulu saya sering keliling bicara soal e-learning, semua bilang tidak percaya, itu masih lama. Tapi setelah pandemi, masa depan datang lebih cepat. Sama, ketika kita ngomong augmented reality (AR), virtual reality (VR), kita berpikir ini 20 tahun lagi. Hati-hati, dia akan datang lebih cepat," lanjut dia.
Menurut Eko yang tercatat sebagai Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) itu, kehadiran metaverse akan membuat alam semesta kembali menjadi sekolah yang holistik dan kontekstual.
"Kemana pun kita pergi, selama kita membawa handphone, kita arahkan ke gedung atau benda mana pun, kita bisa mengenal sejarahnya, namanya, cara buatnya. Tentu saja anak-anak akan semakin pandai," ujarnya.
Baca juga: Surge luncurkan ekosistem metaverse transportasi pertama di Indonesia
Baca juga: Telkom dan ISI Yogyakarta berkolaborasi kembangkan seni di ruang siber
Ia melanjutkan, metaverse juga akan membuat interaksi dan komunikasi jarak jauh menjadi semakin menarik dan menyenangkan. Guru dan murid bisa membuat avatar sendiri dan berkomunikasi seolah-olah bertemu secara langsung.
Selain itu, kata dia, melalui metaverse eksperimen dan eksplorasi ilmu juga menjadi tidak terbatas dan lebih menyeluruh.
"Dulu, saat saya belajar biologi, guru menjelaskan jantung ada empat ruang. Tapi saya yakin bapak dan ibu guru belum pernah lihat jantung manusia kalau dibelek kayak apa. Dengan metaverse, kita bisa ambil simulasinya, bisa kita zoom in, zoom out, diputar, dipotong. Kita jadi tahu apa yang ada dalam tubuh manusia," jelasnya.
Tak hanya itu, Eko juga mengatakan metaverse akan membuat dunia dapat didatangi oleh siapapun tanpa adanya batasan ruang dan waktu. Dalam konteks pendidikan, menurut dia hal ini bisa diterapkan misalnya saat belajar geografi.
"Dengan metaverse murid bisa mengeksplorasi dalamnya Piramida Mesir, masuk ke Taj Mahal, melihat kemiringan Menara Pisa, dan lain sebagainya," imbuh Eko.
Baca juga: Pelatihan AR dan VR bisa bangun ekosistem talenta digital di Indonesia
Ia melanjutkan, metaverse juga akan membuat interaksi dan komunikasi jarak jauh menjadi semakin menarik dan menyenangkan. Guru dan murid bisa membuat avatar sendiri dan berkomunikasi seolah-olah bertemu secara langsung.
Selain itu, kata dia, melalui metaverse eksperimen dan eksplorasi ilmu juga menjadi tidak terbatas dan lebih menyeluruh.
"Dulu, saat saya belajar biologi, guru menjelaskan jantung ada empat ruang. Tapi saya yakin bapak dan ibu guru belum pernah lihat jantung manusia kalau dibelek kayak apa. Dengan metaverse, kita bisa ambil simulasinya, bisa kita zoom in, zoom out, diputar, dipotong. Kita jadi tahu apa yang ada dalam tubuh manusia," jelasnya.
Tak hanya itu, Eko juga mengatakan metaverse akan membuat dunia dapat didatangi oleh siapapun tanpa adanya batasan ruang dan waktu. Dalam konteks pendidikan, menurut dia hal ini bisa diterapkan misalnya saat belajar geografi.
"Dengan metaverse murid bisa mengeksplorasi dalamnya Piramida Mesir, masuk ke Taj Mahal, melihat kemiringan Menara Pisa, dan lain sebagainya," imbuh Eko.
Baca juga: Pelatihan AR dan VR bisa bangun ekosistem talenta digital di Indonesia
Baca juga: Starcamp demonstrasikan teknologi metaverse di NXC Summit Bali
Lebih lanjut, ia mengatakan metaverse juga membuat murid dapat belajar menciptakan sesuatu sedini mungkin. Misalnya, saat ini seseorang baru bisa mendesain gedung jika dia sudah menjadi sarjana arsitektur. Namun dengan metaverse, katanya, anak-anak SD bisa berimajinasi dan membuat desain rumah, mobil, hingga pesawat secara simulatif.
"Kemudian ada yang bilang kalau pakai internet atau metaverse hanya bisa untuk kognitif, enggak bisa untuk motorik atau vokasi. Padahal, kita bisa belajar jadi perawat, belajar memperbaiki mobil, menggunakan AR dan VR," kata Eko.
"Saya sudah membantu beberapa SMK terutama yang berkaitan dengan mekanik, belajar membenarkan motor, mobil, melakukan bongkar pasang mesin, menggunakan VR," sambungnya.
Selain itu, Eko juga mengatakan kehadiran metaverse akan melahirkan banyak sekolah virtual. Bentuk dan sumber belajar juga akan mengalami revolusi yang besar-besaran.
"Pendidik virtual berbasis kecerdasan artifisial juga akan banyak ditemukan. Guru tetap ada, cuma akan dibantu oleh asisten. Kemudian model evaluasi pembelajaran juga menjadi sangat bervariasi dan unik," ujar Eko.
"Jadi sebagai seorang guru, kita harus menemukan mana unsur pedagoginya. Dalam memilih teknologi, pastikan itu dapat membantu guru memfasilitasi proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan," pungkasnya.
Baca juga: Indonesia hadirkan teknologi pembuat avatar di DEWG G20 keempat
Lebih lanjut, ia mengatakan metaverse juga membuat murid dapat belajar menciptakan sesuatu sedini mungkin. Misalnya, saat ini seseorang baru bisa mendesain gedung jika dia sudah menjadi sarjana arsitektur. Namun dengan metaverse, katanya, anak-anak SD bisa berimajinasi dan membuat desain rumah, mobil, hingga pesawat secara simulatif.
"Kemudian ada yang bilang kalau pakai internet atau metaverse hanya bisa untuk kognitif, enggak bisa untuk motorik atau vokasi. Padahal, kita bisa belajar jadi perawat, belajar memperbaiki mobil, menggunakan AR dan VR," kata Eko.
"Saya sudah membantu beberapa SMK terutama yang berkaitan dengan mekanik, belajar membenarkan motor, mobil, melakukan bongkar pasang mesin, menggunakan VR," sambungnya.
Selain itu, Eko juga mengatakan kehadiran metaverse akan melahirkan banyak sekolah virtual. Bentuk dan sumber belajar juga akan mengalami revolusi yang besar-besaran.
"Pendidik virtual berbasis kecerdasan artifisial juga akan banyak ditemukan. Guru tetap ada, cuma akan dibantu oleh asisten. Kemudian model evaluasi pembelajaran juga menjadi sangat bervariasi dan unik," ujar Eko.
"Jadi sebagai seorang guru, kita harus menemukan mana unsur pedagoginya. Dalam memilih teknologi, pastikan itu dapat membantu guru memfasilitasi proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan," pungkasnya.
Baca juga: Indonesia hadirkan teknologi pembuat avatar di DEWG G20 keempat
Baca juga: WIR Group gandeng DCII wujudkan keamanan data di metaverse
Baca juga: Sandi Uno nyatakan pemasaran lewat metaverse jadi keniscayaan
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022