Aforestasi dan reforestasi, termasuk pembangunan hutan tanaman menjadi bagian dari aksi mitigasi untuk mencapai target yang tertuang dalam Enhanced NDC dan FOLU Net Sink.Jakarta (ANTARA) - Tinjauan ulang kebijakan Cut of Date 1994 lembaga sertifikasi kehutanan Forest Stewardship Council (FSC) dinilai bisa memberikan insentif untuk aktivitas aforestasi dan reforestasi di dalam konsesi hutan tanaman maupun areal perhutanan sosial.
Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia Indroyono Soesilo mengatakan langkah tersebut juga bisa mendukung tercapainya pengurangan dan penyerapan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tertuang dalam dokumen Enhanced National Determined Contribution (NDC) dan agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
"Aforestasi dan reforestasi, termasuk pembangunan hutan tanaman menjadi bagian dari aksi mitigasi untuk mencapai target yang tertuang dalam Enhanced NDC dan FOLU Net Sink,” kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Kementerian ESDM targetkan penurunan emisi GRK 231 Juta ton pada 2025
Dalam dokumen Enhanced NDC, lanjutnya, Indonesia menaikkan target penurunan emisi GRK dari 29 persen menjadi 31,89 persen tanpa syarat atau dari 41 persen menjadi 43,2 persen bersyarat.
Sementara itu pada agenda FOLU Net Sink, Indonesia berkomitmen untuk mencapai kondisi di mana tingkat penyerapan GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU) sudah seimbang atau lebih tinggi dibanding emisinya pada tahun 2030.
Menurut Indroyono, saat ini hutan tanaman Indonesia terhambat untuk bisa mengikuti sertifikasi FSC karena ada kebijakan Cut of Date 1994. Kebanyakan hutan tanaman di Indonesia baru dibangun setelah batas waktu tersebut.
Dia menyatakan, jika kebijakan Cut of Date FSC diubah, akan lebih banyak hutan tanaman di Indonesia bisa mengikuti sertifikasi FSC sehingga bisa mendorong perbaikan pengelolaan hutan dan memberi insentif pasar.
“Ini berarti akan lebih banyak aforestasi dan reforestasi yang dilakukan,” katanya saat sesi panel bertajuk “Expanding FSC Certification in Indonesia” pada ajang General Assembly FSC di Bali 10-14 Oktober 2022.
Baca juga: ProKlim butuh banyak keterlibatan masyarakat lokal turunkan emisi
Indroyono menuturkan, pemerintah Indonesia saat ini begitu konsisten untuk melakukan upaya pencegahan deforestasi seperti sudah tertuang di dokumen Enhanced NDC dan FOLU Net Sink 2030.
"Laju deforestasi di Indonesia sudah menurun sebanyak 80 persen pada tahun 2021-2022 jika dibandingkan dengan periode tahun 2010-2011," katanya.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menyatakan keyakinannya jika kebijakan Cut of Date menjadi 31 Desember 2020 akan semakin banyak unit manajemen hutan tanaman yang bisa disertifikasi FSC dan akan mendorong perbaikan pengelolaan hutan.
Saat ini dari sekitar 11 juta hektare konsesi PBPH hutan tanaman, hanya ada 4 unit manajemen yang tersertifikasi FSC dengan luas 358.761 hektare.
"Areal PBPH dan PS adalah areal potensial untuk mendukung target FSC untuk memperluas areal hutan yang tersertifikasi," katanya.
Baca juga: Bahan bakar nabati perkuat kebijakan iklim Indonesia
Menurut dia perubahan Cut of Date tetap akan menjadikan FSC kredibel karena pembatasan konversi hutan alam tetap ada sekaligus diiringi dengan kebijakan untuk melakukan remediasi yang berarti akan semakin mendorong perluasan restorasi dan konservasi hutan.
Purwadi menegaskan, Unit Manajemen yang telah memperoleh sertifikat SVLK dan FSC, berpeluang besar untuk memperluas pangsa pasar di tingkat global.
FSC saat ini sedang mengkaji kebijakan Cut of Date 1994 seiring dengan adanya mosi 37/2021 yang diajukan oleh member secara luas. Berdasarkan kebijakan tersebut, hutan tanaman yang dibangun dengan mengkonversi hutan alam setelah November 1994 tidak bisa mengikuti sertifikasi FSC.
Jika mosi 37/2021 disetujui, maka Cut of Date akan diubah menjadi 31 Desember 2020. Lolos atau tidaknya mosi 37/2021 akan ditentukan saat General Assembly di Bali yang akan berlangsung hingga 14 Oktober 2022.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Kehutanan Internasional (Cifor) Herry Purnomo mendukung jika batas cut of date FSC menyesuaikan dengan kondisi pada sebuah negara atau wilayah.
“Secara scientific standard seharusnya adaptif sesuai konteks. Tidak ada satu standard yang cocok untuk semua kondisi karena ekosistem atau sosialnya pasti berbeda,” katanya.
Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022