Mataram (ANTARA) - Mohammad Arifin, akrab dikenal sebagai Max Arifin, layak ditahbiskan sebagai legenda dramawan asal Kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara Barat, mengingat rekam jejaknya di kancah sastra dan teater.
Atas dedikasinya tersebut, pria kelahiran 18 Agustus 1936 yang wafat pada 1 Maret 2007 itu, diganjar penghargaan lewat acara "On Stage 22" bertemakan "Max Arifin dan Teater" pada 3-8 Oktober 2022 yang digagas Insomnia Theater Movement di Taman Budaya NTB, Mataram.
Selama sepekan penuh, para komunitas sastra di NTB mementaskan lakon karyanya, antara lain, berjudul “Balada Putri Mandalika”, “Balada Sahdi Sadiah”, dan “Badai Sepanjang Malam”.
Perhelatan tersebut juga mengganjar sertifikat penghargaan kepada tujuh komunitas teater di Lombok yang telah mempertunjukkan karya Max Arifin. Ketujuh komunitas itu Teater Putih FKIP Universitas Mataram, Sanggar Anak Gunung Lombok Utara, Teater 16 Lombok Timur, Teater Tastura Lombok Tengah, Mime In Lombok, SFNLabs Mataram, dan Kampoeng Baca Pelangi Lombok Barat.
Ketua panitia acara tersebut Indra Saputra Lesmana menyebut Max Arifin tokoh teater Indonesia. Di tengah kesibukan sebagai PNS di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Max tetap mencurahkan ide dan waktu untuk dunia teater bersama komunitas teater lintas batas.
Max menempuh pendidikan SD dan SMP di Sumbawa Besar, kemudian melanjutkan SMA di Yogyakarta. Setamat SMA kuliah di Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lalu pindah ke IKIP Mataram mengambil Jurusan Bahasa Inggris dan Sastra.
Sejak di bangku SMA, Max aktif di bidang seni sastra dan teater. Di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Max yang bertugas di Bidang Kesenian, mengurus seksi drama dan sastra (tradisional dan modern). Selama masa tugas, ia tiga kali mengikuti penataran seni drama di Cisarua dan Cipayung yang diselenggarakan oleh Depdikbud.
Max juga banyak menulis naskah drama, cerpen, puisi, serta memimpin dan menyutradarai kelompok Teater Gugus Depan Mataram. Pada saat yang sama ia aktif membina seni drama/teater di sejumlah SMA dan fakultas di perguruan tinggi Mataram. Banyak pula Max mengikuti pertemuan dan seminar kesenian dan teater.
Kecakapan dan dedikasi itu pula yang membuatnya dipercaya menjadi redaktur budaya di harian Suara Nusa (sekarang Lombok Post) dan koresponden majalah Tempo untuk Lombok 1975-1979. Ia pernah menjadi juri pada beberapa festival teater di Jawa Timur dan di tingkat nasional (2000) dan se-Jawa Timur (2004), dan Jember (2004).
Berbagai makalah pernah dipresentasikan ketika Max menjadi narasumber untuk teater dan kebudayaan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Mojokerto, dan Jember. Pada tahun 2004 dan 2005 ia juga menjadi kurator bidang teater pada Festival Seni Surabaya.
Selain banyak menulis naskah, Max juga menerjemahkan buku, seperti “Balada Putri Mandalika”; “Balada Sahdi Sahdia”; “Badai Sepanjang Malam”; menerjemahkan “The Rebel” karya Albert Camus; “The Shifting Point” karya Peter Brook; “Menuju Teater Miskin” oleh Jerzy Grotowski, dan banyak lagi.
Karena itu, ajang On Stage 22 menganugerahi Max penghargaan. Apresiasi ini layak disematkan mengingat dedikasi dan kontribusi besar Max terhadap perkembangan teater, terutama di NTB dan Jawa Timur.
Sementara itu, tokoh teater NTB Kongso Sukoco bangga atas diangkatnya kembali nama Max Arifin juga karya-karyanya melalui pertunjukan teater.
"Malam ini nama Bapak Max Arifin disebut lagi, dihargai, dan diberi penghargaan. Saya kira itu suatu yang tepat, selaku orang yang bergerak di dunia teater. Saya menghargai Bapak Max Arifin sebagai perintis tumbuh dan kembangnya teater modern di NTB,” kata Kongso.
Kesaksian
Pertunjukan Sanggar Anak Gunung dari Lombok Utara memainkan karya Max Arifin yang berjudul "Badai Sepanjang Malam", Selasa (4-10) malam, yang mampu menghipnotis publik Kota Mataram.
"Badai Sepanjang Malam" yang disutradarai oleh Galih Mulayadi dan diperankan oleh Syarifuddin itu mengisahkan seorang guru bernama Jamil yang mengajar di daerah pelosok di Lombok Selatan.
Jamil memiliki ide untuk mengajar di daerah terpencil dan memajukan generasi muda yang ada di sana, namun hal yang dipikirkan sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di sana dan hampir membuatnya menyerah.
Sutradara Galih Mulyadi mengatakan semua karya yang dipentaskan di festival ini adalah karya Max Arifin dan memang sudah dikhususkan oleh panitia karena Max Arifin sebagai orang yang lebih dulu berteater di NTB.
Galih mendapatkan bagian sebagai sutradara “Badai Sepanjang Malam” dalam teks drama yang bercerita tentang pengabdian guru di daerah terpencil di Lombok Tengah. Max memang memiliki ide mengembangkan pendidikan di daerah tersebut.
Asisten sutradara, Hadi, mempersiapkan pentas ini selama 1,5 bulan dengan berbagai kendala di setiap divisi. Bahkan, bahannya cukup sulit didapat mengingat naskah ini bercerita tentang kurun waktu yang jauh ke belakang pada tahun 1977.
Yusfian, sutradara Sanggar Sastra Teater 16, yang memainkan lakon karya Max Arifin berjudul “Ivek”, mengaku, drama tersebut menggambarkan sosok teater tiga zaman asal NTB, Max Arifin.
Drama tersebut juga dipersembahkan untuk mengingat lebih dalam almarhum Max Arifin, yang bercerita tentang tiga masa yang digabungkan dalam satu pertunjukan.
Sebenarnya persiapan untuk menampilkan karya Max Arifin berjudul "Ivek" ini dibutuhkan 4 bulan, mulai dari bedah naskah, mengubah esai menjadi naskah, pendalaman karakter, reading, kemudian latihan.
Selama 4 bulan tim mempersiapkan semuanya, berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lain, ada Muncas Seribu Langit, Perjal Minor, Stand up Comedy Lombok Timur, Sanggar Seni Kapas Putih, dan Sandratasik.
Selain itu, pertunjukan "Ivek" kali pertama ditampilkan memang untuk merayakan haul almarhum Max Arifin.
Max Arifin memang sudah pergi namun dedikasi dan karya-karyanya terasa abadi menginspirasi komunitas seniman, terutama teater.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022