masalah belajar di kemudian hari
Jakarta (ANTARA) - Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pasangan suami istri, baik itu suami kepada istri atau sebaliknya, tak cuma mempengaruhi hubungan pasangan, tetapi memberi dampak buruk terhadap anak yang menjadi saksi mata. Bila dibiarkan, ada risiko anak akan mengalami gangguan kesehatan mental.
"Anak cenderung memiliki kecenderungan mengalami gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, gangguan stress pasca trauma (PTSD), depresi bahkan pikiran atau perilaku yang mengarah pada upaya bunuh diri," kata psikolog klinis Anggiastri Hanantyasari Utami kepada ANTARA, Selasa.
Menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga dapat memicu kecemasan dan ketakutan akan pengabaian oleh orang dewasa.
Baca juga: Hasil visum: Lesti Kejora alami beberapa luka akibat kekerasan
Baca juga: Polres Metro Jaksel berencana panggil Baim Wong terkait "prank" KDRT
Psikolog di LPDK Kemuning Kembar dan Omah Perden itu menjelaskan biasanya orang dewasa atau orangtua yang dalam kondisi tidak sehat secara mental akibat pertengkaran akan mempengaruhi pada bagaimana mereka merawat dan mengasuh anak.
Ada penelitian yang mengatakan bahwa sering menyaksikan atau berada pada situasi tertekan terus-menerus dapat membuat anak mengalami gangguan perkembangan pada otaknya sehingga mempengaruhi kemampuan berpikir, berbahasa, emosi dan perilaku, lanjut dia.
Tak hanya itu, perilaku agresif yang dilihat anak ketika kekerasan dalam rumah tangga terjadi di hadapannya bisa ditiru oleh buah hati, sehingga muncul kecenderungan kekerasan itu akan terulang lagi di masa depan.
"Ketika anak sudah mencapai usia lima tahun ke atas, perilaku agresif yang ditunjukkan oleh orangtua dapat membuat anak meniru perilaku agresif tersebut dan diterapkan sebagai coping mechanism atau cara dia menyelesaikan masalah-masalahnya di kemudian hari," jelas dia.
Senada dengan Anggiastri, psikolog klinis dewasa Annisa Prasetyo Ningrum dari Universitas Indonesia mengatakan KDRT dalam keluarga dapat menjadi pengalaman yang menyisakan trauma bagi anak.
Sebab, keluarga yang seharusnya menjadi orang terdekat dan memberikan rasa aman malah menunjukkan kekerasan. Akibatnya, muncul rasa takut dan marah pada anak.
"Pengalaman menyaksikan atau mengalami KDRT saat masa anak-anak sering menjadi salah satu faktor prediktor berkembangnya masalah perilaku, pengendalian emosi, atau masalah belajar di kemudian hari," kata anggota Ikatan Psikologi Klinis Jawa Barat itu kepada ANTARA, Selasa.
Langkah paling awal yang bisa dilakukan sebagai upaya pemulihan adalah mengusahakan anak berada di lingkungan yang membuatnya merasa aman.
Menurut Annisa, butuh kerjasama dari keluarga, sekolah, lingkungan maupun tenaga kesehatan dalam proses pemulihan kondisi anak karena masing-masing anak menghayati peristiwa traumatis secara berbeda.
Dia mengatakan tidak ada yang bisa menjamin pengalaman yang serupa takkan terulang lagi di masa depan, namun yang bisa dilakukan adalah berusaha membuat anak merasa aman dan nyaman sehingga mau terbuka dalam membahas apa yang dialami dan dirasakan dengan orang-orang terdekatnya.
Orang-orang di sekitar anak juga harus membantu agar anak bisa belajar mengelola emosinya secara positif.
Baca juga: Humaniora kemarin, mulai KDRT hingga peringatan hari kesehatan mental
Baca juga: Selasa, kamerawan Baim Wong terkait "prank" KDRT dipanggil polisi
Baca juga: Pengamat: Posyandu perlu sesi konseling cegah KDRT
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022