Rasa malu dan diskriminasi merupakan tantangan terbesar

Jakarta (ANTARA) - Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) Dr. Sandersan Onie mengatakan stigma masih jadi isu utama dalam penanganan kesehatan mental yang lambat, termasuk di kota besar, di mana kesadaran kesehatan jiwa lebih baik.

"Di kota besar kesadaran tentang kesehatan jiwa lebih baik, tapi banyak yang tidak mau bertemu dengan profesional karena stigma," kata pria yang akrab disapa Sandy itu dalam konferensi pers daring, Senin.

Sandersan mengatakan sebagian masyarakat masih menganggap hanya orang gila atau tidak waras yang perlu bertemu dengan psikolog atau psikiater. Diskriminasi terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental juga dibarengi dengan rasa malu keluarga untuk meminta bantuan kepada tenaga profesional.

“Rasa malu dan diskriminasi merupakan tantangan terbesar terhadap sebuah negara yang sehat," kata pendiri organisasi kesehatan mental Emotional Health for All (EHFA).

Baca juga: Psikiater: Edukasi kesehatan mental perlu jadi prioritas

Padahal, kualitas hidup akan menurun ketika kesehatan mental tidak ditangani, bahkan bisa mempengaruhi anggota keluarga sekitar. Gangguan kesehatan ini juga bisa berujung kepada upaya bunuh diri.

“Indonesia memiliki masalah kesehatan mental yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian terbaru, kami menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia yang sebenarnya mungkin setidaknya 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan, dan jumlah percobaan bunuh diri setidaknya 7 kali lipat dari jumlah tersebut," kata ahli kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri itu.

Fenomena tersebut bagaikan puncak gunung es. Menurut dia, masih banyak kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan karena keluarga merasa hal itu merupakan aib yang harus disembunyikan.

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022