New York (ANTARA) - Saat upaya karantina wilayah (lockdown) pertama terkait pandemi COVID-19 diterapkan di Amerika Serikat (AS) pada Maret 2020, jumlah penjualan senjata api justru meroket hingga diperkirakan mencapai 80 persen atau melampaui angka 2,3 juta dalam satu bulan untuk pertama kalinya di AS, demikian dilaporkan portal berita AS HuffPost pada pekan lalu.
"Penjualan senjata api beberapa kali mencapai puncak bulanan selama tahun berikutnya," papar laporan itu mengutip analisis data dari National Shooting Sports Foundation (NSSF), kelompok perdagangan industri senjata api.
Lebih dari dua tahun kemudian tatkala periode terburuk pandemi telah lama berakhir, menurut juru bicara NSSF Mark Oliva, COVID-19 tampaknya telah meninggalkan warisan yang abadi di sektor penjualan senjata api.
Warga AS, ujar Mark Oliva, masih berpotensi mencatat tahun pembelian senjata api tertinggi ketiga sepanjang masa.
Adanya kekhawatiran bahwa gelombang kejahatan akan membuat polisi kewalahan tampaknya mendorong lonjakan pembelian senjata saat masa awal pandemi pada Maret 2020 lalu, kata sebagian besar pakar yang diwawancarai HuffPost.
Namun, "penjualan tampaknya juga berulang kali memecahkan rekor baru di setiap peristiwa yang berbeda," sebut laporan itu.
Sebagai contoh, aksi unjuk rasa pada musim panas 2020 menyusul pembunuhan warga Afrika-Amerika George Floyd oleh petugas polisi kulit putih telah meningkatkan rasa takut akan kejahatan di beberapa komunitas sekaligus memicu pula ketakutan kepada polisi di komunitas lainnya.
Dengan adanya kedua tren tersebut, laporan itu menambahkan, maka hal tersebut kemungkinan menjadi pemicu meningkatnya pembelian senjata api.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2022