Jakarta (ANTARA) - Kesadaran untuk mengembangkan padi hibrida di negari ini, sebetulnya telah berlangsung sejak lama. Para penentu kebijakan pembangunan pertanian mempersepsikan padi hibrida sebagai terobosan cerdas untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman padi.
Itu sebabnya dalam rangka memelihara momentum Swasembada Beras 2019-2021 sekaligus memperkokoh ketersediaan pangan nasional, kebijakan pengembangan padi hibrida perlu dijadikan salah satu pilihan strategis yang idealnya diambil Pemerintah.
Beberapa hasil kajian dan uji coba yang dilakukan di banyak daerah, dapat dijadikan refrensi untuk penerapan di tempat lain. Pengembangan padi hibrida di negeri ini, sebaiknya mulai dipikirkan Pemerintah, khususnya untuk mengokohkan ketersediaan pangan itu sendiri.
Padi hibrida dengan produktivitasnya yang tinggi, memiliki kesempatan untuk menjadi pilar peningkatan produksi padi secara nasional. Padi hibrida merupakan peluang yang harus ditangkap dengan penuh optimisme. Di saat dunia diributkan akan adanya krisis pangan global, sebaiknya bangsa Indonesia menjawab dengan pengembangan padi hibrida.
Pertanyaan pentingnya adalah mengapa dalam tempo yang sesegera mungkin, negeri ini harus mengembangkan padi hibrida? Apa bedanya dengan padi inhibrida? Pertanyaan ini wajar mengusik masyarakat di tanah air, terutama bagi mereka yang tidak terlalu akrab dengan masalah benih padi ini.
Padi inbrida seperti misalnya varietas Ciherang, IR 64, Situbagendit, Mekongga merupakan hasil dari penyerbukan terbuka (open pollination), sedangkan padi hibrida dihasilkan melalui proses persilangan tetua betina (dikenal CMS Line atau A Line) dan tetua jantan (dikenal Restorer Line atau R line).
Padi hibrida memiliki keunggulan utama yaitu dari sisi produktivitasnya yang tinggi. Dengan tingkat produksi yang lebih tinggi diharapkan pemanfaatan padi hibrida dapat lebih dioptimalkan sampai ke tingkat petani, sehingga ke depan, dapat berkontribusi pada peningkatan produksi padi nasional.
Pemulia dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi yang berpusat di Sukamandi, Subang, Jabar, berhasil mengembangkan varietas padi hibrida dengan berbagai keunggulan spesifik.
Salah satunya HIPA 18, varietas hibrida ini selain potensi produktivitasnya yang mencapai 10,3 ton/ha, juga bereaksi agak tahan terhadap wereng batang coklat biotipe 1, agak tahan terhadap terhadap 3 patotipe hawar daun bakteri (kresek) dan tahan terhadap blast.
Rasa nasi juga enak semakin membuat padi jenis ini berdaya tarik tinggi dan disukai. Kemudahan dalam produksi benihnya juga menjadi keunggulan dari sisi bisnisnya yang lain. Out crossing rate yang tinggi dari galur mandul jantan, tetua HIPA 18 membuat potensi produksi benih hibrida ini menjadi tinggi. Pelisensi menyebutkan bahwa mereka berhasil memperoleh rata-rata benih 1,5 – 2,0 ton/ha.
Padi hibrida secara umum menyukai tanah-tanah bertekstur ringan. Padi hibrida HIPA 8 misalnya yang ternyata mampu beradaptasi di lahan kering Kebumen, Jawa Tengah, sedangkan HIPA 18 mampu beradaptasi di lahan pasang surut potensial di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Pemerintah sendiri, kelihatannya akan terus mengembangkan padi hibrida. Percontohan dan uji coba tampak semakin sering dilakukan, baik yang digarap Pemerintah atau pun kalangan dunia usaha. Dalam waktu singkat, semua pihak berharap agar "agribisnis padi hibrida" mulai dikembangkan.
Makna Agribisnis
Kata “agribisnis” sendiri dalam empat dekade belakangan ini, acapkali muncul menjadi perhatian yang serius dari berbagai kalangan, khususnya mereka yang terkait dengan upaya pencarian paradigma baru dalam pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian.
Beberapa pakar mencoba memberi pengertian tentang makna agribisnis. Salah satunya adalah Prof. Bungaran Saragih (1996) yang mendeskripsikan bahwa agribisnis merupakan cara baru melihat dan membangun pertanian, dimana pembangunan ekonomi berbasis pertanian tidak hanya terbatas pada pembangunan subsistem usaha tani saja.
Berdasarkan pemahaman yang demikian, jelas terungkap bahwa agribisnis merupakan paradigma baru pembangunan perekonomian suatu wilayah yang didasarkan pada pemberian nilai tambah produk pertanian menjadi produk bernilai tinggi secara manfaat dan ekonomi.
Pemberian atau peningkatan nilai tambah dapat dilakukan dengan berbagai upaya yang bersifat manajerial dan teknologi. Upaya pemberian nilai tambah tersebut harus dilakukan berdasarkan pendekatan sistem.
Hal tersebut perlu dilakukan, karena agribisnis merupakan suatu aktivitas yang bersifat multifungsional, multidisiplin, multiregional, dan bersifat networking.
Agribisnis padi hibrida, memang bukan hanya sebuah jargon atau semangat. Tapi, pemahaman yang lebih utuh terhadap agribisnis pada hibrida, akan terkait pula dengan berbagai upaya kreatif dan inovatif pemberian nilai tambah yang didorong oleh kebutuhan dan keinginan pasar (market driven), seperti pengolahan hasil, pemasaran, pengadaan bahan baku, dan lain sebagainya lagi.
Atas dasar pandangan yang seperti inilah, maka pendekatan agribisnis padi hibrida perlu lebih terintegrasi, simultan, komprehensif, dan terarah. Selain itu penting juga dicatat bahwa pengembangan agribisnis padi hibrida yang umumnya bersifat makro, perlu ditopang pula oleh struktur, perilaku, dan kinerja mikro dari sistem agribisnis itu sendiri.
Struktur agribisnis yang tersekat-sekat harus diubah menjadi struktur yang integratif dengan mendorong terwujudnya agribisnis berbasis pertanian terintegrasi secara vertikal, dimana seluruh subsistem agribisnis berbasis pertanian dari hulu ke hilir berada pada satu kesatuan keputusan manajemen.
*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2022