Kupang (ANTARA News) - Sikap politik Australia terhadap keutuhan NKRI menyusul memanasnya situasi politik di Papua hendaknya diwaspadai oleh Jakarta, dengan belajar dari kasus lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi setelah 23 tahun menjadi bagian dari NKRI. "Kasus Timtim seharusnya menjadi referensi Jakarta dalam mencermati dan menelaah setiap sikap politik Australia tentang masalah yang tengah terjadi di Tanah Papua," kata pengamat hukum internasional, Wilhelmus Wetan Songa di Kupang, Rabu. Ketika Timtim pertama kali bergabung dengan Indonesia, katanya menjelaskan Australia merupakan negara pertama di dunia yang endukungnya, dan ketika Timtim menyatakan berpisah dengan NKRI melalui referendum 30 Agustus 1999, Australia juga merupakan negara pertama yang mendukung kemerdekaan Timtim. Menurut dia, gejolak politik yang sedang terjadi di Tanah Papua harus diawasi secara ketat oleh Jakarta, karena manuver-manuver politik yang dilakukan Australia sudah mulai tampak dengan memberikan visa kepada 42 warga Papua. Sesuai ketentuan hukum internasional, kata Wetan Songa, tindakan Australia memberikan perlindungan kepada 42 warga Indonesia asal Papua itu dapat dibenarkan, namun kesalahan terbesar yang dilakukan Australia justru memberikan visa kepada para pencari suaka itu. "Setiap negara dapat dibenarkan memberikan perlindungan kepada warga negara lain yang merasa terancam di dalam negerinya sendiri. Tetapi, langkah Australia memberikan visa kepada 42 warga Papua itu patut diwaspadai oleh Jakarta," ujarnya. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, kata dia, memiliki ruang yang cukup besar bagi negara lain untuk merongrong negara kesatuan ini. "Setiap persoalan yang terjadi di dalam negeri Indonesia seperti masalah separatisme di Papua, Aceh dan Maluku tidak lepas dari campur tangan pihak asing untuk mengobok-obok Indonesia. Timor Timur adalah contoh kasusnya," kata dia. Atas dasar itu, ia menyarankan agar Kontitusi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang tengah dibahas oleh parlemen Indonesia, sebaiknya dipertimbangkan untuk tidak disahkan menjadi sebuah produk Undang-Undang. "Jika konstitusi NAD itu sampai akhirnya disahkan, saya yakin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akan memanfaatkan UU itu untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh menjadi sebuah negara federal," katanya menambahkan. Situasi tersebut, kata Wetan Songa, akan dilakukan pula oleh masyarakat Papua dan daerah-daerah lainnya di Indonesia untuk berdiri sendiri menjadi sebuah negara federal. Otonomi daerah yang diberikan kepada daerah tingkat II, menurut dia, perlahan-lahan akan berkembang menjadi federalisme, dan Indonesia pada suatu saat akan menjadi negara federal seperti konsep yang ditawarkan Amien Rais, mantan Ketua MPR dan Ketua Umum DPP PAN beberapa waktu lalu. (*)

Copyright © ANTARA 2006