Jakarta (ANTARA) - Pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) perlu menambahkan sesi konseling untuk mengatasi perselisihan dalam rumah tangga guna mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

"Saya kira ini yang mungkin bisa ditambahkan di fungsi Posyandu, karena di Posyandu itu yang datang ibu-ibu menengah ke bawah. Perlu ada materi-materi terkait dengan bagaimana menghindari kekerasan rumah tangga dan memastikan rumah tangga baik-baik saja," ucapnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.

Menurutnya, peran Posyandu saat ini tidak hanya untuk menimbang berat balita namun juga menjaga kualitas hidup bahkan pada lansia, maka tidak ada salahnya menambahkan materi-materi konseling tentang pernikahan.

"Dalam konseling tersebut bisa secara persuasif mengajak ibu-ibu rumah tangga untuk tidak menjadi korban KDRT dengan cara memahami hak dan kewajibannya dan memberikan nilai-nilai positif dalam berkeluarga dan berumah tangga, serta tidak menganggap suami sebagai musuh," katanya.

Baca juga: Psikolog: KDRT bisa picu sifat agresif pada anak

Selain itu, Kantor Urusan Agama (KUA) juga perlu membuka konseling untuk pembinaan bukan hanya sebelum menikah tetapi bisa dikembangkan untuk konseling setelah menikah, agar tidak terjadi KDRT.

Menurut dia, KDRT terjadi tidak hanya pada kalangan menengah ke bawah namun juga terjadi pada keluarga menengah ke atas. Ini bisa terjadi karena beberapa aspek, di antaranya faktor gaya hidup dan ekonomi.

"Kalau menengah ke atas lebih kepada faktor sosial budaya atau gaya hidup yang percintaan antara pasangan tidak terlalu erat, tidak terlalu kuat, dan itu membuat akhirnya memicu perselingkuhan," ucapnya.

Baca juga: KemenPPPA tekankan peningkatan peran keluarga cegah KDRT

Sedangkan untuk kalangan menengah ke bawah, kata dia, kondisi ekonomi dan beban hidup menjadi salah satu faktor terjadinya KDRT seperti suami yang mudah stres dan istri yang mengalami kesulitan mengurus rumah tangga.

"Kondisi hidup mereka sulit, utamanya memang perempuan yang merasakan kesulitan, laki-laki tidak. Istri mungkin menyampaikan perkataan yang tidak menyenangkan hati suami akhirnya melakukan kekerasan pada istrinya," kata dia

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini berharap kerja sama berbagai pihak untuk mencegah KDRT sehingga tidak menghancurkan kondisi psikologis anak dan menjadi trauma.

Baca juga: Kemenag: Tak bisa sembunyikan KDRT dengan dalih keluhuran istri

"Jadi pada saat kasus kejadian KDRT ada di depan anak atau dia dengar itu pasti akan menghancurkan mental dan kondisi psikologi anak dan bisa jadi menjadi trauma, bisa menjadi pelaku," katanya.

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022