Tanjungpinang (ANTARA) - Bahasa Indonesia lahir dari sejarah panjang sampai bermuara pada satu kesepakatan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda 1928. Perdebatan pun muncul saat para tokoh pemuda membahas nama bahasa yang layak menjadi bahasa pemersatu bangsa.
Adalah M Yamin, tokoh pemuda yang getol mengusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu bangsa. M Yamin menganalisis lebih dalam dialek Bahasa Melayu yang mirip dengan bahasa yang dipergunakan sebagai penghubung.
Usulan M Yamin itu sejalan dengan R.M. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang berpendapat Bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu bangsa. Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda, pada 28 Agustus 1916 mengusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional setelah Indonesia merdeka.
Tetapi setelah itu, mayoritas pemuda lebih sepakat dengan pemikiran M Tabrani (tokoh asal Pamekasan, Madura) yang mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Kemudian nama Bahasa Indonesia dikukuhkan dalam Kongres II Pemuda pada 28 Oktober 1928. Bahasa ini pun disepakati sebagai bahasa negara setelah Indonesia merdeka.
Meski demikian, keputusan tersebut tidak melunturkan bahwa Bahasa Melayu sebagai asal muasal Bahasa Indonesia setelah disahkan sebagai bahasa negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Bab XV Pasal 36. Kongres II Bahasa Indonesia Tahun 1954 di Medan, antara lain menetapkan Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu. Para ahli bahasa saat itu berpendapat bahwa berdasarkan sejarah, Bahasa Indonesia berkembang dari Bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, dan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa komunikasi Nusantara yang baku berhasil menjadi bahasa pemersatu bangsa. Indonesia berdasarkan hasil penelitian Summer Institute of Linguistics memiliki sebanyak 719 bahasa daerah, dan 707 di antaranya masih aktif.
Pahlawan bahasa
Dapat dimaklumi, bila nama Bahasa Melayu tidak ditempatkan sebagai bahasa nasional, lantaran erat hubungannya dengan suku. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2010, jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai 1.340, yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Setiap suku bangsa memiliki bahasa daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Nama Bahasa Indonesia merupakan jalan tengah untuk menyatukan bangsa yang kaya akan bahasa daerah. Namun, tidak salah bila negara menetapkan suatu daerah sebagai asal muasal Bahasa Indonesia.
Catatan sejarah Bahasa Indonesia yang disuguhkan kepada generasi penerus bangsa tidak akan pernah lengkap bila asal mula bahasa pemersatu bangsa itu tidak mengungkapkan nama daerah yang mempergunakan Bahasa Melayu, yang kemudian menjadi rujukan Bahasa Indonesia.
Presiden Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika membuka Temu Akbar I Thariqat Mu’tabarah Se-Sumatera, di Masjid Agung Annur, Pekanbaru, Provinsi Riau, pada Sabtu, 29 April 2000, menegaskan pengakuan Pemerintah Republik Indonesia akan jasa Raja Ali Haji dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional. Menurut Gus Dur, tanpa jasa Raja Ali Haji, belum tentu Indonesia menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini.
Raja Ali Haji merupakan pencipta gubahan syair Gurindam 12 di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, pada tahun 1847, yang mengemuka sampai sekarang. Syair berisi nasihat itu menggunakan Bahasa Melayu, yang sama dengan Bahasa Indonesia. Raja Ali Haji juga mengarang dua buku penting dalam sejarah perkembangan Bahasa Indonesia, yakni Kitab Pengetahuan Bahasa dan Bustan Al Katibin. Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan cikal bakal lahirnya Kamus Besar Bahasa Indonesia, sedangkan Kitab Bustan Al Katibin berisi penataan ejaan yang benar dari bahasa, yang kemudian dikenal sebagai Ejaan Yang Disempurnakan.
Dari karyanya itu, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada 10 November 2004. Raja Ali Haji kemudian dikenal sebagai Bapak Bahasa Indonesia.
Nama Raja Ali Haji juga dipergunakan sebagai nama kampus negeri pertama di Tanjungpinang, Ibu Kota Kepulauan Riau. Di dalam auditorium Rektorat Universitas Maritim Raja Ali Haji juga dipajang 12 pasal Gurindam 12. Gurindam 12 pula menjadi menu pembelajaran muatan lokal di sekolah dasar di wilayah itu.
Tepis keraguan
Keraguan terhadap asal mula Bahasa Indonesia sebenarnya dapat ditepis dengan fakta sejarah. Awal abab 20, misalnya, keraguan banyak pihak mendorong Sutan Takdir Alisjahbana menulis esai yang dimuat dalam Majalah Pujangga Baru pada 1933. Kutipan dalam esai karyanya, yakni "Nyatalah kepada kita, bahwa perbedaan yang sering dikemukakan orang (antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu) itu tiada beralasan sedikit juapun. Dan saya yakin, bahwa meski bagaimana sekalipun orang tiada akan mungkin menunjukkan perbedaan yang sesungguh-sungguhnya nyata antara bahasa yang disebut sekarang Bahasa Indonesia dengan bahasa yang disebut Bahasa Melayu … ” (Alisjahbana, 1978:47).
Harimurti Kridalaksana (1991:176—177), seorang pakar Bahasa Indonesia membantah pendapat yang menyebutkan bahwa bahasa Indonesia berasal dari pijin dan kreol Melayu. Harimurti menegaskan, antara lain, ketika diangkat menjadi Bahasa Indonesia pada 1928, Bahasa Melayu secara substansial menjadi bahasa penuh dan bahasa ibu masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau, dan Kalimantan.
Bahasa Melayu sudah mempunyai kesusastraan yang berkembang, yang lazim disebut Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20, yang berhubungan historis dengan kesusastraan Melayu Klasik yang sudah berkembang sejak abad ke-14.
Selanjutnya, menurut Kridalaksana, sebelum menjadi Bahasa Indonesia, bahasa Melayu telah mengalami proses standardisasi, terutama melalui sistem pendidikan Kolonial Belanda.
Ahli sejarah dan budaya dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Abdul Malik menyatakan sejarah membuktikan bahwa Bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa pertama atau bahasa ibu masyarakat Kepulauan Melayu. Selain itu, Bahasa Melayu telah sejak berabad-abad lalu menjadi bahasa kedua penduduk seluruh Nusantara, jauh sebelum diangkat menjadi Bahasa Indonesia.
Pada masa kegemilangan, Bahasa Melayu seperti diakui oleh banyak pakar asing, telah sejak lama menjadi bahasa internasional. Bahkan Francois Valentijn mengatakan bahwa sejak abad ke-18 Bahasa Melayu telah menyamai bahasa-bahasa penting di Eropa dan persebarannya sangat luas sampai ke Persia. Mana mungkin bahasa seperti itu disebut bahasa pijin atau kreol atau Melayu Pasar.
Lagi pula, selain telah mengalami proses standarisasi dalam sistem pendidikan kolonial Belanda, Bahasa Melayu pun telah mendapat pembinaan dan pengembangan dari kalangan intelektual Kerajaan Riau-Lingga. Karya-karya Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, dan para penulis yang terhimpun di dalam Kelab Rusydiah dalam pelbagai bidang, terutama dalam bidang bahasa, memungkinkan kedudukan bahasa Melayu tinggi (melayu baku) menjadi istimewa dan berpengaruh luas ke seluruh Kepulauan Nusantara. Hal itu dimungkinkan karena ada rujukan yang jelas tentang sistem Bahasa Melayu tinggi, seperti yang diakui oleh banyak peneliti asing.
Bulan Bahasa dan Sastra yang diperingati setiap 28 Oktober merupakan momentum bagi bangsa Indonesia untuk mengulik lebih dalam tentang sejarah lahirnya Bahasa Indonesia. Kedudukan Bahasa Melayu sebagai asal mula Bahasa Indonesia perlu pula dipertegas. Melegitimasi Penyengat, yang berhadapan dengan Gedung Daerah Tanjungpinang sebagai pulau asal muasal Bahasa Indonesia berdasarkan sejarah perlu mendapatkan perhatian khusus.
Copyright © ANTARA 2022