Ini harus segera diatasi dengan program legalitas usaha tambang rakyat
Pangkalpinang (ANTARA) - Pertambangan bijih timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi bagian tidak terpisahkan sejarah Bangsa Indonesia. Sebagai kekayaan negara, timah harus dikelola untuk memberi kesejahteraan rakyat.
Kekayaan sumber daya alam bijih timah dan mineral ikutannya yang berlimpah merupakan salah satu sektor penyumbang terbesar penerimaan devisa negara, pendapatan asli daerah, dan ekonomi masyarakat. Namun keberadaan penambangan tanpa izin juga menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan, sosial, dan ketertiban masyarakat.
Selama ini penambangan timah sering terbentur dengan permasalahan lingkungan meski timah belum tergantikan. Dengan demikian, dalam jangka panjang komoditas ini masih dibutuhkan oleh dunia.
Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, terdapat sekitar 123.000 hektare lahan kritis akibat maraknya penambangan bijih timah ilegal di Pulau Bangka dan Belitung.
Dalam penanganan penambangan bijih timah tanpa izin di darat dan laut di Negeri Serumpun Sebalai itu, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berusaha keras untuk mempercepat regulasi Wilayah Penambangan Rakyat (WPR). Tujuannya, agar penambangan masyarakat dilakukan secara legal sesuai kaidah-kaidah penambangan yang baik.
Menurut Pasal 1 ayat 32 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, WPR merupakan bagian dari wilayah usaha pertambangan rakyat. WPR ditetapkan oleh kepala daerah setelah berkonsultasi dengan dewan perwakilan rakyat.
Pemprov Babel mempercepat usulan WPR ke Pemerintah Pusat untuk penanganan penambangan bijih timah ilegal. Juga telah mengumpulkan bupati dan wali kota se-provinsi ini untuk mempercepat pengusulan WPR agar masyarakat dapat menambang timah secara legal.
Percepatan WPR ini sebagai upaya pemerintah daerah untuk meredam penambangan ilegal yang merusak lingkungan, menekan korban kecelakaan di pertambangan, hingga mengurangi kerugian negara akibat kegiatan ilegal ini.
"Sebaran lahan rusak akibat tambang ilegal ini sudah mencapai 62.423 hektare. Belum lagi korban kecelakaan akibat pertambangan tanpa izin dan ditambah potensi kerugian negara, baik berupa royalti maupun dari iuran tetap," ujar Penjabat Gubernur Kepulauan Babel Ridwan Djamaluddin.
Pemerintah tidak pernah bermaksud menyusahkan masyarakat, namun ingin mengupayakan titik temu antara kebutuhan masyarakat dan regulasi. Salah satunya melalui percepatan usulan WPR.
Dalam pengusulan WPR nanti, ada beberapa syarat teknis yang harus dipenuhi. Misalnya, syarat kajian lingkungan hidup strategis yang diminta KLHK.
Ridwan Djamaluddin yang juga Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut tidak menampik timah sebagai bisnis dan selalu ada dampak negatifnya. Seperti tambang ilegal dan smelter yang tidak punya izin usaha pertambangan (IUP), tetapi bahan baku timahnya ada terus.
Dengan adanya WPR maka bupati dan wali kota dapat menerbitkan izin penambangan rakyat (IPR) sehingga dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan, kerugian negara, dan masalah sosial di masyarakat.
Wewenang pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral salah satunya memberikan perizinan berusaha pertambangan. Perizinan yang dimaksud di antaranya berupa IPR. Pemegang IPR wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah, termasuk dalam bentuk pajak.
Kaitan antara IPR dan WPR ini adalah semua kegiatan pertambangan rakyat harus dilaksanakan dalam suatu WPR. Untuk itu, pemberian IPR baru dilakukan setelah diperolehnya WPR.
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 PMK 61/2021, WPR adalah bagian dari wilayah pertambangan tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. WPR ditetapkan pemerintah melalui serangkaian proses penetapan.
Tidak semua tempat dapat diajukan sebagai WPR. Sebab, pemerintah telah menentukan kriteria wilayah pertambangan yang bisa ditetapkan sebagai WPR. Kriteria tersebut di antaranya mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai atau di antara tepi dan tepi sungai.
Apabila dibandingkan dengan izin pertambangan lain, seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUP Khusus (IUPK), IPR memiliki batasan luas wilayah yang lebih sempit. Misalnya, luas wilayah untuk satu IPR yang dapat diberikan kepada orang-perseorangan paling luas 5 hektare.
Perbedaan lainnya terdapat pada jangka waktu pemberian izin pertambangan. IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali, masing-masing 5 tahun. Sementara itu, jangka waktu IUP bergantung pada jenis material.
Adapun kewajiban pajak bagi pemegang IPR di antaranya adalah mengakui penghasilan atas seluruh penjualan dan pengalihan hasil produksi mineral dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh).
WPR dan IPR ini tentu sangat membantu pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara untuk mempercepat dan mendorong pertumbuhan ekonomi pascapandemi COVID-19.
DPR RI sebelumnya menegaskan komitmennya memperjuangkan WPR, agar masyarakat dapat menambang dengan tenang dan sesuai aturan berlaku.
Saat ini isu pertambangan timah di Provinsi Kepulauan Babel memang tidak ada habisnya, mulai dari aktivitas pertambangan ilegal yang dilakukan masyarakat, kerusakan lingkungan, royalti, dan lainnya.
"Ini harus segera diatasi dengan program legalitas usaha tambang rakyat, mengingat pertumbuhan ekonomi di Babel dipicu pergerakan ekonomi masyarakat bawah," kata Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya.
Dosen Ilmu Kelautan Universitas Bangka Belitung Indra Ambalika Syari mengatakan tambang timah rakyat menjadi ancaman dan kendala dalam mereklamasi bekas penambangan bijih timah di laut Pulau Bangka.
Saat ini pertumbuhan karang terganggu karena maraknya aktivitas tambang rakyat di kawasan reklamasi laut.
PT Timah Tbk bekerja sama dengan UBB dan nelayan sejak 2016 hingga 2020 telah menenggelamkan 3.105 terumbu karang buatan di laut Pulau Bangka, guna menjaga keberlangsungan ekosistem laut di wilayah operasional perusahaan milik negara itu.
Kekeruhan air, lumpur, dan limbah dari aktivitas tambang rakyat telah berdampak pada pertumbuhan karang di kawasan reklamasi laut ini.
Karang buatan atau artificial reef yang mulai tumbuh, beberapa di antaranya sudah menjadi kawasan fishing ground dan wisata bahari, malah mengalami penurunan akibat dari kekeruhan air dari aktivitas tambang-tambang yang tidak sesuai ketentuan.
Sejauh ini masih bertahan dan bagus bisa dilihat transplantasi karang dan fish shelter, namun dengan makin maraknya penambangan masyarakat, itu menjadi ancaman bagi fish shelter yang sudah ditenggelamkan.
Selama ini PT Timah tidak lagi menambang di kawasan penenggelaman fish shelter, tetapi usaha tambang lainnya masih terus melakukan aktivitas di kawasan reklamasi laut ini.
Ini harus menjadi perhatian karena, menurut dia, pasti berdampak pada fish shelter yang tadinya sudah bagus kondisinya jadi menurun.
Keberhasilan reklamasi laut yang dilakukan BUMN tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator, yakni indeks keanekaragaman ikan laut yang saat ini sudah mencapai 1,5 hingga 3,5 dan masuk dalam katagori sedang hingga tinggi.
Indikator lainnya yakni makin banyak komposisi spesies ikan. Dengan kian tinggi spesiesnya menjadi indikasi makin bagus dan stabil pada biota penempelannya.
Keragaman spesies ikan ini tergantung usia penenggelaman. Makin lama makin stabil. Kalau baru ditenggelamkan masih sedikit, tapi seiring waktu makin banyak jenis ikan. Rata-rata ikan karang banyak yang ditemui, misalnya, kakap, seminyak, kerapu, dan lainnya.
Komitmen aparat
Kepolisian Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengancam menindak tegas aparat kepolisian yang melindungi penambangan bijih timah ilegal. Tindakan ini guna mengatasi maraknya penambangan liar.
"Aparat yang mem-backing-i saya tidak tegas. Ini komitmen kami mendukung pemerintah mengatasi penambangan ilegal," kata Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Irjen Pol. Yan Sultra.
Penindakan terhadap pelaku penambangan ilegal sudah sering dilakukan namun belum sepenuhnya teratasi sehingga sampai saat ini tambang ilegal masih marak di Babel. Usaha ini tidak dapat dilakukan kepolisian saja, tetapi harus melibatkan semua pihak.
Kebijakan Presiden RI Joko Widodo menugaskan Pj. Gubernur Babel Ridwan Jamaluddin dinilai sangat tepat karena saat ini Ridwan Djamaluddin juga sebagai Dirjen Minerba di Kementerian ESDM.
Polda mengajak semua pihak bersama-sama mengatasi kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pertambangan timah ilegal.
Subdit Penegakan Hukum Direktorat Polairud Polda Babel sebelumnya berhasil mengamankan tiga tersangka penambangan ilegal di Hutan Konservasi Sembulan, Pantai Batu Ampar, Desa Penagan Kabupaten Bangka.
Tiga pelaku yang diamankan yakni H alias Yandri (27) warga Desa Penagan, Wa (51), dan Sa (61) warga Pangkalpinang. Ketiganya memiliki peran berbeda. Yandri selaku panitia, Wa selaku sopir, dan Sa ikut bersama dalam mobil.
Penangkapan itu berawal dari laporan adanya aktivitas tambang ilegal di Hutan Konservasi Sembulan, Pantai Batu Ampar, Desa Penagan Kabupaten Bangka. Aparat langsung bergerak lalu menemukan kegiatan tambang ilegal di perairan tersebut yang berjumlah sekitar 200 unit ponton.
Adapun barang bukti yang diamankan berupa satu mobil pikap dengan pasir timah di bak mobil dengan berat kotor 1 ton, dua timbangan warna hijau, satu handphone, buku catatan, dan nota jual beli pasir timah.
Para pelaku disangkakan melakukan tindak pidana Pasal 161 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dengan ancaman kurungan maksimal 5 tahun dan denda Rp100 miliar.
Sosialisasi bahaya penambangan timah ilegal memang terus dilakukan. Namun, penegakan hukum juga harus diberlakukan demi memberi efek jera.
Semua itu dilakukan demi menjaga kelestarian lingkungan dan kelanjutan berusaha. Lebih dari itu, bijih timah sebagai kekayaan negara harus memberi kesejahteraan bersama. ***2***
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022