Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis obstetri dan ginekologi Dr. dr. Tofan Widya Utami, Sp.OG Subsp. Onk meminta para perempuan sesegera mungkin melakukan upaya pencegahan dan deteksi dini kanker serviks, dan jangan menunggu hingga gejala atau tanda muncul.

“Jangan menunggu gejala. Kita harus waspada bahwa ini bisa saja sudah terjadi kanker serviks tapi belum ada gejala apapun,” kata dokter dari Rumah Sakit Universitas Indonesia itu dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Jumat.

Tofan mengatakan bahwa kemunculan gejala biasanya menandakan penyakit kanker serviks sudah berkembang menjadi stadium lanjut. Berdasarkan pengalamannya di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Tofan mengatakan banyak ditemukan pasien kanker serviks tanpa gejala yang rupanya telah stadium lanjut atau sekitar 77,9 persen kasus.

“Itu ironis sekali. Kenapa? Karena sebetulnya ini sangat bisa dicegah dan disembuhkan dalam fase pra-kanker,” katanya.

Baca juga: Vaksinasi dan skrining HPV penting untuk cegah risiko kanker serviks

Ia menjelaskan bahwa kanker serviks tidak terjadi secara tiba-tiba. Infeksi virus HPV (human papillomavirus), virus penyebab kanker serviks, dapat berkembang hingga menjadi suatu lesi atau simtom membutuhkan waktu tahunan.

Virus tersebut pada dasarnya dapat ditemukan di mana-mana. HPV menjadi berbahaya dan berubah menjadi penyakit apabila terjadi persistensi atau hidup berkepanjangan di serviks (leher rahim) atau sekitarnya.

Tofan menyebutkan setiap perempuan yang sudah aktif secara seksual memiliki risiko terinfeksi HPV di sepanjang hidupnya sebesar 50-80 persen. Apabila persistensi tidak terjadi, kemudian individu tetap menjaga imunitas dan menjalankan gaya hidup seimbang, maka akan terjadi “clearence” atau pembersihan dengan sendirinya.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terdapat tiga langkah intervensi yang dapat dilakukan, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Tofan mengatakan di masa saat ini yang terpenting yaitu pencegahan primer dan sekunder, mengingat tersier berarti dapat dikatakan terlambat mengingat sudah dalam tahap pengobatan.

Adapun pencegahan primer dapat berupa vaksinasi HPV dan promosi kesehatan melalui edukasi. Vaksinasi yang paling baik sebenarnya pada perempuan yang belum terpapar HPV atau belum pernah melakukan hubungan seksual. Meski demikian, Indonesia masih mendorong untuk dilakukan vaksinasi HPV antara 10 hingga 55 tahun.

Baca juga: BKKBN: Kanker rahim tak bergejala ancaman serius bagi perempuan

Sementara pencegahan sekunder yaitu deteksi dini yang terdiri dari skrining dan diagnosis. Tofan mengatakan skrining merupakan komponen deteksi dini dengan melakukan penapisan pada semua perempuan yang belum memiliki gejala sama sekali.

Deteksi dini memiliki banyak modalitas atau metode yang bisa dilakukan perempuan, di antaranya pemeriksaan IVA (inspeksi visual asam asetat) yang sudah dicanangkan sebagai program nasional sejak 2007. Selain itu ada pula pap smear dan tes DNA-HPV.

“Setiap perempuan yang sudah atau pernah melakukan hubungan seksual minimal tiga tahun sejak awal melakukan hubungan seksual, itu periksa, minimal sekali. Mau IVA, pap smear, atau yang sangat akurat pemeriksaan virusnya (DNA-HPV),” katanya.

Ia mengatakan pemeriksaan dengan metode IVA dan pap smear yang normal boleh dilakukan dengan pengulangan antara 1 hingga 3 tahun, sementara tes DNA-HPV bisa diulang 3 hingga 5 tahun. Tofan juga menegaskan bahwa ketika individu telah melakukan vaksinasi, bukan berarti sudah tidak memerlukan pemeriksaan IVA, pap smear, maupun DNA-HPV.

Baca juga: Vaksinasi HPV penting diberikan anak usia sekolah dasar

“Jangan berpikir, ‘Ah, saya sudah vaksin, berarti sudah tidak perlu lagi IVA, pap smear, dan tes DNA-HPV. Itu salah. Pencegahan primer dan sekunder itu harus menjadi satu kesatuan,” kata Tofan.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022