Jakarta (ANTARA) - Indonesia menolak usulan Amerika Serikat untuk menggelar debat Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai isu Uighur di Xinjiang, China.

“Indonesia tidak dalam posisi untuk mendukung rancangan keputusan mengenai penyelenggaraan debat tentang situasi HAM di Wilayah Otonomi Xinjiang Uighur,” kata Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa Febrian A Ruddyard dalam keterangan tertulisnya, Jumat.

Penolakan tersebut, kata Febrian, didasarkan pada pertimbangan bahwa pendekatan yang diajukan oleh negara pengusung dalam Dewan HAM tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti, utamanya karena tidak mendapat persetujuan dan dukungan dari negara yang berkepentingan.

Namun, dia juga menegaskan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan populasi umat Muslim terbesar di dunia dan sebagai demokrasi yang aktif dan dinamis, tetap berkomitmen menyelesaikan isu Uighur.

“Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap kondisi saudara dan saudari Muslim di bagian dunia lainnya. Adalah tanggung jawab Indonesia sebagai bagian dari umat Islam untuk saling menjaga satu sama lain,” kata Febrian.

Baca juga: Di Xinjiang, Xi Jinping singgung perkembangan Islam

Baca juga: Kunjungi Xinjiang, Presiden China serukan persatuan

Sejumlah upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia guna merespons isu Uighur, antara lain berdiskusi dengan pemerintah dan masyarakat China terkait pemajuan dan pelindungan HAM umat Muslim Uighur serta terus bekerja sama dengan negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) lainnya untuk membahas isu tersebut. 


“Tujuan utama dari diskusi dan keterlibatan Indonesia dimaksud adalah untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan saudara- saudari Muslim kita di Xinjiang,” tutur Febrian.

Pada Kamis (6/10), Dewan HAM PBB melakukan pemungutan suara tentang penyelenggaraan debat mengenai kondisi etnis Uighur di China.

Dari 47 anggota yang menyampaikan sikapnya, 19 negara menentang debat tersebut, 17 negara menerima, sementara 11 negara lainnya memilih abstain.

Baca juga: Legislatif China kecam Parlemen Eropa soal resolusi Xinjiang

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2022