Jakarta (ANTARA) - Dalam sepak bola, sayap kanan dan sayap kiri selalu bekerja sama untuk menyerang dan menangkal lawan. Tapi dalam dunia politik, kedua sayap ini abadi bersaing.
Ketika harus berkolaborasi, maka mereka melakukannya dengan pihak lain, yakni kelompok tengah, sehingga menghasilkan koalisi kanan-tengah atau kiri-tengah.
Pertarungan kiri melawan kanan menjadi cermin pertarungan sosial dan pendekatan bagaimana negara harus dikelola.
Salah satu pertarungan kanan melawan kiri yang menarik perhatian adalah ketika calon presiden kiri Luiz Inacio Lula da Silva yang juga mantan presiden, bertarung menghadapi petahana Jair Messias Bolsonaro dalam Pemilihan Presiden Brazil.
Pertarungan mereka memanjangkan daftar "kanan melawan kiri" yang terus terjadi di dunia belakangan ini, mulai dari India yang ditandai dengan semakin kuatnya cengkeraman partai berhaluan nasionalis Bharatiya Janata pimpinan Narendra Modi sampai Italia, dari Prancis sampai Filipina di mana duo Ferdinand Marcos Jr dan Sara Duterte-Carpio berusaha melanggengkan garis populis Rodrigo Duterte.
Yang paling unik dalam pertarungan itu adalah fenomena naik daunnya kaum kanan, termasuk di Brazil.
Di Brazil, Bolsanaro memang gagal memenangi pemilihan presiden putaran pertama. Namun dia membuat kaum kanan di seluruh dunia berbesar hati karena telah mementahkan jajak pendapat sampai mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump yang juga tokoh kanan, mencuit "MAYORITAS DIAM TELAH BANGKIT!!!”.
Trump sendiri berusaha mencalonkan diri lagi dalam Pemilihan Presiden AS 2024 dan sudah menjadi pelumas terampuh dalam melontarkan popularitas tokoh-tokoh kanan di dalam Partai Republik menjelang pemilu sela 2022 ini.
Selama berpekan-pekan sebelum pemilihan presiden putaran pertama, 2 Oktober lalu, Bolsonaro selalu berada jauh di belakang Lula dalam berbagai jajak pendapat, sampai selisih 14 persen.
Lula memang meraih suara terbanyak dengan 48,4 persen suara, tapi masih di bawah mayoritas 50 persen plus 1 yang menjadi tiket langsung menjadi presiden Brazil.
Uniknya, Bolsonaro yang oleh berbagai jajak pendapat memperoleh suara 34 persen, justru meraup suara 43,2 persen. Alhasil, pemilihan presiden Brazil harus dilakukan dalam dua putaran.
Jumlah suara Bolsonaro yang mementahkan jajak pendapat itu membuat kaget sebagian besar kalangan karena sejauh ini kekuatan mereka telah diremehkan, seperti terjadi pada Viktor Orban di Hungaria atau Georgia Meloni di Italia.
Revolusi Prancis
Terminologi kiri dan kanan sendiri adalah spektrum politik yang mengklasifikasi karakterisasi posisi politik, ideologi dan partai dengan menekankan soal kesetaraan sosial dan hirarki sosial.
Di antara kedua spektrum ini, ada kelompok tengah atau sentris yang juga disebut kaum moderat, yang memiliki irisan kepentingan dengan kedua spektrum itu.
Kata kiri dilabelkan kepada kaum atau orang yang memiliki pandangan liberal yang mendukung reformasi progresif yang memperjuangkan kesetaraan sosial dan ekonomi.
Sebaliknya kaum kanan berpandangan konservatif karena cenderung melestarikan kondisi dan kelembagaan yang sudah ada, serta ingin mengembalikan nilai-nilai tradisional di sisi lain dan membatasi perubahan di sisi lainnya.
Bagian paling ujung kedua spektrum ini yang melebihi batas definisi kanan dan kiri, acap disebut kanan/kiri jauh, atau kanan/kiri ekstrem, atau juga kanan/kiri radikal.
Kiri ekstrem disematkan kepada mereka yang berpandangan revolusioner, seperti komunisme dan sosialisme. Sebaliknya kanan ekstrem merujuk kepada mereka yang berpandangan nasionalistis dan fasis serta sebangsanya.
Istilah kanan dan kiri berasal dari tempat duduk anggota Majelis Nasional Prancis pada 1789, parlemen yang dibentuk setelah Revolusi Prancis tahun itu.
Bertitik tolak dari posisi duduk ketua parlemen yang berada di tengah ruang sidang, bagian kiri ruang gedung parlemen diisi rakyat jelata dan agamawan yang tak memiliki otoritas keagamaan, sedangkan sisi kanannya diisi kaum bangsawan dan agamawan yang memiliki otoritas keagamaan.
Mereka yang duduk di sebelah kiri berpandangan progresif, radikal dan pro kelas menengah, sebaliknya yang duduk di sebelah kanan lebih reaksioner dengan berpandangan konservatif, pro aristokrasi dan berusaha mempertahankan kemapanan.
Sejak itu, dalam politik kontemporer, istilah kiri dan kanan digunakan guna menggambarkan mereka yang progresif dari mereka yang konservatif.
Kedua sisi ini memiliki sisi ekstrem masing-masing, antara berusaha sekeras mungkin mengubah kemapanan dan berusaha sekeras mungkin mempertahankan nilai-nilai lama.
Ini pula yang terjadi dalam pemilihan presiden Brazil saat ini di mana Bolsonaro dan Lula sama-sama berpijak kepada sisi paling jauh dalam dua sisi spektrum politik itu.
Salah satu perbedaan kontras di antara keduanya adalah dari cara mereka mendekati persoalan ekonomi Brazil. Bolsonaro mengagungkan ekonomi pasar terbuka yang ramah dunia usaha dan menekan intervensi negara dengan cara swastanisasi. Sebaliknya, Lula fokus kepada pendekatan ekonomi yang mengatasi ketimpangan dan kemiskinan.
Kedua orang berbeda dalam hampir semua cara mengenai bagaimana seharusnya mengelola Brazil, mulai dari isu lingkungan sampai isu-isu moral.
Jika Bolsonaro menang, maka dia menjadi deviasi dari kecenderungan yang tengah terjadi di Amerika Latin. Sebaliknya jika Lula yang menang, maka Brazil berada dalam rel sama dengan Amerika Latin pada umumnya.
Pemilu sela AS
Berbeda dengan Eropa dan kawasan-kawasan lain, seperti India dan Filipina, yang cenderung terjadi di Amerika Latin adalah koalisi kiri-tengah memenangkan pemilu seperti terjadi di Meksiko, Argentina, Bolivia, Peru dan Honduras. Bahkan di Chile dan Kolombia, tokoh-tokoh kiri sukses memenangi pemilu.
Di Chile, Gabriel Boric mencatat kemenangan bersejarah tahun lalu, sedangkan Juni silam Gustavo Petro menjadi presiden kiri pertama di Kolombia.
Sepanjang 2022 ini dunia akan menjadi panggung untuk pertarungan antara kedua sisi politik yang satu sama lain berseberangan ini.
Di antara yang paling seru terjadi November nanti ketika AS menggelar pemilu sela. Pada 8 November 2022 yang dua tahun setelah Joe Biden mengalahkan Donald Trump, rakyat AS akan kembali mendatangi bilik-bilik suara untuk memilih anggota DPR dan sepertiga dari jumlah anggota Senat.
Pemilu sela ini biasanya menjadi kabar buruk bagi presiden yang tengah menjabat di mana dalam tujuh puluh tahun terakhir, partai yang menjadi asal presiden AS rata-rata kehilangan 25 kursi DPR.
Mungkin bukan kanan versus kiri seperti terjadi di Eropa dan Amerika Latin, namun memang ada pertarungan sengit antara kiri radikal dan kanan radikal di AS.
Keduanya masuk mengarahkan narasi politik dalam dua partai dominan di AS; kiri radikal masuk Partai Demokrat, sedangkan kanan radikal masuk Partai Republik.
Ada kekhawatiran di antara elite kemapanan di dalam kedua partai itu bahwa kedua sisi radikal ini bakal mengubah politik di AS untuk selamanya, sehingga tak lagi inklusif seperti sekarang.
Tetapi Partai Demokrat berhasil menjinakkan sisi kiri radikalnya, sebaliknya Republik malah semakin jauh ke kanan sejak Trump melengserkan kelompok kemapanan dalam partai ini.
Salah satu faktor Joe Biden memenangi Pemilu 2020 adalah konsensus antara pemilih Demokrat untuk memilih kecenderungan tengah yang dianut Joe Biden ketimbang Bernie Sanders yang terlalu kiri, sehingga menjadi antitesis murni untuk pendekatan terlalu kanan Donald Trump di Partai Republik.
Langkah ini terbukti memenangkan suara kelompok suara mengambang yang tidak condong, baik kepada Republik maupun kepada Demokrat, dan juga tidak menginginkan sisi ekstrem, baik kanan maupun jauh.
Apa yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Asia dan lainnya sedikit banyak mempengaruhi kecenderungan suara dalam pemilu sela di AS bulan depan.
Dan mungkin pula bisa menyentuh Indonesia walau dikotomi progresif dan konservatif di Indonesia tak begitu sama dengan pemahaman kanan dan kiri dalam spektrum politik kontemporer karena mungkin akibat begitu cair dan pragmatisnya politik di negeri ini.
Yang jelas, saat in tengah terjadi pertarungan sengit antara kaum kiri dan kaum kanan di banyak bagian dunia.
Copyright © ANTARA 2022