Walhi mengajak kepada semua kawan kawan untuk bersama sama mendorong ini nanti menjadi satu gerakan bersama ke depan

Jakarta (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan Indonesia membutuhkan Undang-Undang Perubahan Iklim sebagai salah satu upaya untuk mendorong keadilan iklim di negara ini.

"Di nasional kita belum punya satu undang-undang yang bicara keadilan iklim dan saya kira kami di Walhi mengajak kepada semua kawan kawan untuk bersama sama mendorong ini nanti menjadi satu gerakan bersama ke depan," kata Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Walhi Nasional Parid Ridwanuddin dalam sebuah diskusi mengenai keadilan iklim di Jakarta, Senin.

Parid menuturkan perkembangan diskursus keadilan sosial kini semakin mendapatkan perhatian besar. Menurutnya, hal itu bisa disebut sebagai satu kemenangan kecil dari gerakan sosial di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

"Ini satu sinyal penting bagi kita untuk melanjutkan kembali atau memperkuat gerakan keadilan iklim," imbuhnya.

Parid mengungkapkan fenomena perubahan iklim yang kini sedang terjadi telah memberikan dampak signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi, hingga kedaulatan negara.

Kenaikan muka air laut bisa menenggelamkan kawasan pesisir yang dihuni oleh sekitar 60 persen penduduknya. Kondisi itu dapat mengancam kedaulatan negara karena Indonesia secara geografis adalah negara kepulauan.

Baca juga: Walhi ingatkan kedaulatan negara bisa terancam akibat perubahan iklim

Baca juga: Walhi Sumsel dampingi petani aksi tuntut jaminan hak tanah

Climate Central memproyeksikan setidaknya 23 juta orang di Indonesia akan terdampak langsung dan dipaksa menjadi pengungsi internal jika kenaikan muka air laut mencapai 0,6 sampai 2 meter pada akhir abad ini.

Pada 2050, sebanyak 199 kabupaten maupun kota pesisir di Indonesia akan terkena banjir rob tahunan, sekitar 118 ribu hektare wilayah akan terendam air laut, dan kerugian diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun.

Selain menenggelamkan pulau-pulau kecil, perubahan iklim juga berdampak terhadap penurunan jumlah nelayan hingga krisis pangan laut.

Parid menuturkan dalam setahun nelayan hanya bisa melaut selama enam bulan. Sisanya, mereka harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan.

"Berdasarkan catatan kami dari 2010 sampai 2020 peningkatan jumlah nelayan yang meninggal di laut akibat cuaca buruk sangat tinggi. Setiap tahun, rata rata 100 nelayan hilang atau meninggal di laut akibat melaut saat cuaca buruk," ujarnya.

Badan Pusat Statistik mencatat sejak tahun 2010 sampai 2019 setidaknya ada terjadi penurunan profesi nelayan di Indonesia sebanyak 330 ribu orang.

Pada 2010, jumlah nelayan masih sebanyak 2,16 juta orang. Kemudian, pada 2019 jumlah nelayan hanya tinggal 1,83 juta orang.

"Salah satu faktor pendorongnya adalah dampak buruk dari krisis iklim," terang Parid.

Indonesia menghadapi ancaman krisis pangan laut di masa depan akibat perubahan iklim. Jika dibiarkan kondisi itu dapat membuat Indonesia impor ikan dari Vietnam ataupun negara-negara tetangga lainnya.

Perubahan iklim juga menyebabkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan mati akibat mengalami pemutihan karena krisis iklim pada tahun 2030.

"Saat ini butuh RUU Perubahan Iklim sebagai salah satu cara untuk mendorong keadilan iklim di Indonesia. RUU ini harus menjadi prioritas gerakan masyarakat sipil di Indonesia dan mengajak jejaring internasional," kata Parid.

"Kami juga mendorong implementasi Undang-Undang 7 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidayaan ikan, dan petambak garam," pungkasnya.

Baca juga: Walhi Kalsel anggap penyebab longsor di jalan nasional akibat tambang

Baca juga: Walhi: Identifikasi lahan gambut lokasi kebakaran berulang

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022