Jakarta (ANTARA News) - Perdana Menteri Australia John Howard menganggap keputusan Australia yang memberikan visa bagi 42 warga Papua tidak akan mengganggu hubungan Canberra-Jakarta, namun ia menyatakan dapat mengerti reaksi keras yang diberikan Pemerintah Indonesia terhadap keputusan tersebut.
"Persaudaraan yang telah dibangun antara pemerintah kedua negara, antara saya dan Presiden Indonesia tidak akan terganggu," kata Howard dengan yakin pada sebuah jumpa pers di Melbourne seperti dikutip dalam situs resmi PM Australia itu, Minggu (26/3).
Howard menyatakan keyakinannya, keputusan tentang visa bagi 42 warga Papua itu juga tidak akan berdampak terhadap perundingan yang tengah dilakukan kedua negara tentang pemindahan tahanan maupun kerja sama dalam bidang keamanan.
"Saya tidak percaya bahwa itu akan menimbulkan dampak," katanya.
Anggapan Howard itu bertentangan dengan sikap Pemerintah Indonesia yang menegaskan bahwa pemberian visa kepada 42 warga Papua telah jelas-jelas mengganggu hubungan baik Australia dengan Indonesia karena mengarah kepada pengingkaran kedaulatan Indonesia terhadap Papua.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengatakan pemberian suaka politik dari pemerintah Australia pada 42 WNI asal Papua sebagai keputusan yang tidak tepat dan mencoreng harga diri bangsa dan negara Indonesia.
"Saya pandang itu sebagai keputusan yang tidak tepat, tidak realistis dan cenderung sepihak karena Papua adalah bagian yang sah dari negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Presiden di Istana Merdeka Jakarta, Senin (3/4).
Presiden mengatakan bahwa seharusnya pemerintah Australia terlebih dahulu berkomunkasi dengan Indonesia mengenai rencana pemberian suaka politik kepada 42 WNI tersebut sehingga ada opsi yang lebih baik dibandingkan keputusan sepihak yang dilakukan Canberra.
Menurut Yudhoyono, yang diputuskan oleh pemerintah Australia itu bukan hanya sekedar pemberian suaka tetapi berkaitan dengan kedaulatan dan kehormatan Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara.
Dengan kebijakan itu, masih menurut Presiden, hubungan RI dan Australia memasuki masa yang sulit dan penuh tantangan sehingga harus segera dicarikan solusinya dengan niat baik, kejujuran serta kesungguhan untuk menjalin persahabatan, kerjasama dan kemitraan antar dua negara.
Dikatakannya, sebelum kasus pemberian suaka ini hubungan Jakarta dan Canberra sangat baik tercermin dari kunjungan kedua pemimpin negara ke masing-masing negara.
"Tetapi setelah peristiwa yang Indonesia sesali itu, harapan saya kita dapat duduk kembali dengan niat baik dan keterbukaan untuk betul-betul menyelesaikan masalah antara dua negara," kata Yudhoyono.
Presiden mengharapkan di masa yang akan datang akan ada dialog atau pertemuan diplomatik yang sungguh-sungguh dan intensif untuk melihat kembali kerangka kerjasama dan persahabatan yang bersifat strategis dan komprehensif.
Salah Baca
Mengapa Australia begitu yakin bahwa keputusan mereka memberikan visa kepada 42 warga Papua tidak akan mengganggu hubungan dengan Indonesia, jika jauh sebelum keputusan itu keluar pihak Indonesia telah bereaksi?
"Australia salah membaca tentang keseriusan kita terhadap dampak yang bisa ditimbulkan melalui pemberian visa proteksi sementara," kata Sekretaris Jenderal Deplu-RI, Imron Cotan, dalam perbincangannya dengan ANTARA.
Imron, yang mantan Dubes RI untuk Australia itu, menyatakan bahwa Indonesia sebelumnya telah serius memperingatkan agar Canberra berhati-hati dalam mengambil keputusan menyangkut 43 pencari suaka asal Papua.
"Sudah kita kasih
warning, kalau Anda (Australia, red) mengambil keputusan yang salah, ini akan ada implikasinya terhadap hubungan jangka pendek. Buktinya, kunjungan-kunjungan sudah mulai dikurangi. Kerjasama kedua negara ditunda. Itu kan sudah mempengaruhi dalam jangka pendek," tegasnya.
Namun untuk jangka panjang, Imron mengakui bahwa Indonesia dan Australia tetap saling membutuhkan guna menciptakan perdamaian, keamanan dan kemakmuran di kawasan.
Keseriusan yang diperlihatkan Indonesia, menurut Imron, telah ditunjukkan secara gamblang kepada Australia melalui berbagai jalur, baik melalui KBRI di Canberra, Menlu Hassan Wirajuda, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung kepada PM John Howard.
Pesan serius yang telah disampaikan adalah bahwa tidak ada
genocide (pembersihan etnis) di Papua seperti yang dijadikan alasan oleh 43 warga Papua untuk mencari suaka politik ke Australia.
"Kita akan berbohong kalau kita mengatakan ada
genocide," ujar Imron.
"Jadi pada tataran semua level, kita sudah menyatakan
be careful (hati-hati) sebelum Anda (Australia, red) mengambil keputusan," kata Imron.
"Mudah-mudahan mereka (Australia, red) di masa yang akan datang tidak lagi salah baca tentang keseriusan kita mengenai masalah Papua. Ini yang perlu disampaikan kepada mereka:
don`t misread (jangan salah membaca) Indonesia, " tambahnya.
Tentang pernyataan yang menyebutkan bahwa keputusan itu adalah keputusan tim independen dari Departemen Imigrasi Australia (DIMA) sehingga Pemerintah Australia tidak dapat campur tangan, Imron Cotan, menegaskan bahwa Indonesia sangat mengerti bahwa departemen Australia tersebut membawahi tim independen yang membuat keputusan untuk memberikan visa kepada 42 warga Papua.
Tapi bagaimanapun juga, tegasnya, DIMA sendiri adalah lembaga yang merupakan bagian dari struktur pemerintahan Australia.
"Kita sangat tahu bahwa DIMA itu adalah bagian dari
executive branch. Sebenarnya peran Pemerintah Australia cukup untuk mengambil keputusan `ya` atau `tidak`. Kecuali kalau dia (DIMA, red) seperti badan legislatif, yudikatif, tentu pemerintah tidak bisa intervensi," kata Imron.
"Karenanya, kita katakan bahwa kita kecewa, terkejut dan marah, karena keputusan itu dikeluarkan oleh suatu badan yang termasuk bagian dari
executive branch," tambahnya.
Dalam kasus keluarnya 42 visa sementara itu, entah siapa yang salah membaca. Australia yang salah membaca keseriusan Indonesia atau justru Indonesia yang salah membaca sikap Australia selama ini.
Mungkin hubungan antara dua negara tetangga ini memang belum sampai dalam tataran saling memahami dan menghargai, tetapi hidup berdampingan memang tidak selalu mudah karena menuntut kompromi dari kedua belah pihak.(*)
Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006