Jakarta (ANTARA) - Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah dan Beras, kini mulai banyak dibahas setelah Pemerintah mengoreksi harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya untuk jenis Pertalite dan Solar.
Beberapa poin penting dari Permendag 24/2020 antara lain terkait tiga hal. Pertama, harga pembelian gabah kering panen dalam negeri dengan kualitas kadar air paling tinggi 25 persen dan kadar hampa/kotoran paling tinggi 10 persen sebesar Rp4.200 per kilogram di tingkat petani atau Rp4.250 per kilogram di penggilingan.
Kedua, harga pembelian gabah kering giling dalam negeri dengan kualitas kadar air paling tinggi 14 persen dan kadar hampa/kotoran paling tinggi 3 persen sebesar Rp5.250 per kilogram di penggilingan atau Rp5.300 per kilogram di gudang Perum Bulog.
Ketiga, harga pembelian beras dalam negeri dengan kualitas kadar air paling tinggi 14 persen, butir patah paling tinggi 20 persen, kadar menir paling tinggi 2 persen, dan derajat sosoh paling sedikit 95 persen sebesar Rp8.300 per kilogram di gudang Perum Bulog.
Apakah angka HPP Gabah dan Beras ini masih cocok untuk waktu saat ini? Ini penting dicermati, karena pada saat HPP ini ditetapkan, kondisi perekonomian nasional sangat berbeda dengan sekarang.
Dua tahun lalu, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) belum naik. Tarif Dasar Listrik juga belum seperti saat ini. Inflasi saat ini cukup tinggi. Bahkan, daya beli masyarakat sendiri masih belum meningkat secara signifikan.
Dan sampai saat ini banyak pihak belum bisa menganalisis secara langsung dampak kenaikan BBM terutama harga BBM subsidi yang rerata 30 persen ini apakah pantas disebut sebagai berkah pembangunan atau sebaliknya merugikan pembangunan.
Seiring dengan itu, ideal kiranya jika persoalan ini kemudian dikaji mendalam di lingkup Senayan. Anggota DPR diharapkan mulai membahas dampak kenaikan BBM terhadap nasib dan kehidupan petani.
Apakah kenaikan BBM yang reratanya 30 persen ini akan memberi tekanan hidup yang lebih berat terhadap petani, mengingat daya beli yang belum normal karena masih berlangsungnya pandemi COVID-19.
Bahkan akan lebih tepat jika para anggota DPR ini mulai membahas Permendag Nomor 24 Tahun 2020 soal HPP Gabah dan Beras.
Sayangnya inisiatif tersebut belum tampak disuarakan oleh berbagai pihak sehingga nasib petani belum terperjuangkan sampai hampir sebulan kenaikan harga BBM diterapkan.
Bagi para petani, naiknya BBM betul-betul sebuah kebijakan yang menyulitkan. Obatnya, tidak cukup hanya dengan diberi Bantuan Langsung Tunai sebesar 600 ribu rupiah. Apalah artinya uang sejumlah itu bila dibandingkan dengan naiknya kebutuhan pokok rakyat sebagai dampak kenaikan BBM dan Tarif Dasar Listrik.
Petani yang kondisi kehidupannya cukup memprihatinkan, tentu saja butuh pengawalan ekstra seusai Pemerintah menaikkan harga BBM ini.
Jangan biarkan petani terjebak dalam kemiskinan yang semakin parah. Jangan sampai kebijakan yang tidak berpihak bagi nasib dan kehidupan petani beserta keluarganya semakin meminggirkan atau bahkan semakin memarginalkan petani dari panggung pembangunan.
Pemerintah sudah saatnya untuk memberikan obat pemulih manjur yang sistemik. Bukan hanya dalam bentuk kebijakan yang sifatnya sesaat.
HPP Gabah
Petani sebagai warga bangsa, tetap harus dibela dan dilindungi dari berbagai kebijakan yang menyudutkan kehidupannya.
Wujud perlindungan dan pembelaan lewat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras, kelihatannya perlu dilanjutkan dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut.
Salah satunya yang terkait dengan tingkat harga yang pantas dan wajar. Soal berapa nilai yang wajar, tentu perlu dilakukan analisis dan perhitungan yang matang. Yang penting prinsip utamanya tetap diarahkan untuk melakukan perlindungan dan keberpihakan kepada petani.
Jika Pemerintah berani menaikkan BBM rerata 30 persen, apakah hal yang sama dapat dilakukan untuk menaikkan HPP Gabah sebesar 30 persen pula.
Di sinilah diperlukan analisis yang matang dan ini penting sebagai sikap Pemerintah untuk memberikan perlindungan dan menunjukkan keberpihakan terhadap petani.
Kalau Pemerintah benar-benar ingin meningkatkan harkat dan martabat petani padi, maka yang perlu dipikir lebih dalam, salah satunya adalah HPP Gabah.
Sebab, para petani padi di tanah air rata-rata berujung di gabah dalam pengelolaan usaha tani padi yang digarapnya. Soal proses gabah menjadi beras, hal itu sudah menjadi ranah para pedagang beras.
Menetapkan kebijakan HPP Gabah dan Beras yang dapat memuaskan para petani selaku produsen padi dan masyarakat selaku konsumen beras dalam waktu yang bersamaan, bukanlah hal yang mudah untuk ditempuh.
Memprihatinkannya kehidupan petani dan lemahnya daya beli masyarakat merupakan kendala serius manakala semua pihak ingin menerapkan kebijakan melakukan perlindungan kepada petani dan pembelaan terhadap konsumen.
Adakah kebijakan harga yang dapat membebaskan keprihatinan petani sekaligus juga memuliakan konsumen, tentu memerlukan perbincangan lebih dalam lagi.
Langkah untuk menaikkan HPP Gabah dalam kondisi perekonomian saat ini, merupakan langkah nyata dalam melindungi para petani padi atas himpitan hidup yang semakin berat.
Petani butuh keberpihakan dari Pemerintah. Petani butuh kecintaan yang mendalam dari para wakil rakyat. Bahkan yang paling diperlukan petani padi sekarang adalah kapan mereka akan jadi penikmat pembangunan, bukan sebaliknya, menjadi korban pembangunan semata.
*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2022