New York (ANTARA News) - Pengamat politik William R. Liddle mengatakan akhir-akhir ini ada kecenderungan meningkatnya sikap radikal di kalangan umat Islam di Indonesia, namun secara umum masyarakat muslim Indonesia tetap menunjukkan sikap moderat. Dalam acara diskusi di Yale University, New Haven, Connecticcut, Sabtu petang, guru besar ilmu politik Ohio State University tersebut merujuk pada sebuah survei yang dilakukan di Indonesia mengenai adanya kecenderungan sikap radikalisme di Indonesia. "Meskipun demikian saya masih sependapat bahwa umumnya masyarakat muslim Indonesia adalah moderat," katanya. Ia juga mengatakan masa depan demokrasi Indonesia cukup cerah dengan mengambil contoh pada fenomena Partai Keadilan Sejahtera yang meraih kemenangan cukup besar dalam pemilu lalu. "Justru yang menjadi daya tarik bagi PKS adalah slogan peduli bersih dan bukan masalah syariah," kata Liddle dalam acara yang diselenggarakan oleh Yale Indonesia Forum dan Council on Southeast ASia Studies Yale University tersebut. Selain Liddle, dalam forum bertema "Islam, Kebebasan dan Demokrasi di Indonesia Saat ini" tersebut, juga hadir pembicara asal Indonesia yakni Ulil Abshor Abdallah (Koordinator Jaringan Islam Liberal dan Mahasiswa di Boston), serta Syamsi Ali, Imam pada Islamic Cultural of New York dan Direktur Jamaica Muslim Center New York. Acara diskusi tersebut dihadiri oleh para akademisi dan mahasiswa Yale University serta mahasiswa lainya dari berbagai universitas, antara lain Boston dan Columbia New York. Selain itu hadir juga beberapa masyarakat Indonesia yang bermukim di negara bagian Connecticut. Berkaitan adanya kecenderungan radikalisme seperti hasil survei UIN, Syamsi Ali juga menyatakan tetap optimistis dengan sikap moderat dan masa depan demokrasi di Indonesia yang merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia tersebut. Menurut dia, gejala atau hasil survei yang memperlihatkan meningkatnya dukungan terhadap radikalisme di Indonesia hanya bagian dari dinamika kehidupan berbangsa. Justru gejala ini seharusnya mendorong semua pihak untuk belajar dan saling menimba pengalaman. Syamsi mengkritik pihak luar, khususnya Amerika, yang hanya ingin menggandeng elite-elite liberal di Indonesia. Padahal tanpa disengaja, ini sudah menyuburkan "kecurigaan" pihak-pihak lain kepada mereka. "Diperlukan dialog yang inklusif, merangkul semua pihak," kata Syamsi Ali. Syamsi dalam diskusi itu juga melihat dari perspektif keagamaan. Menurut dia, berbicara tentang Islam adalah juga berbicara tentang ajaran yang universal. Namun pada tataran ajaran praktis, Islam boleh jadi ditafsirkan dan dipraktikkan dengan bentuk yang berbeda-beda selama masih dalam lingkup universalisme Islam itu sendiri. "Kebebasan adalah fondasi dasar keyakinan muslim," kata Syamsi. Merujuk kepada konsepsi tauhid, Syamsi menegaskan, "Pemahaman mendasar dari tauhid adalah membebaskan diri dari berbagai belenggu peribadatan selain kepada Allah, dan inilah kebebasan yang hakiki." Syamsi kemudian menjelaskan beberapa bentuk kebebasan yang ada dalam Islam, antara lain, kebebasan mencari tahu (freedom of inquiries), kebebasan berekspreasi (freedom of expression) kebebasan wanita (freedom/emancipation of women), dan kebebasan beragama (freedom of religious beliefs). Sementara itu Ulil dalam paparannya lebih banyak menyoroti fatwa MUI, khususnya mengenai kasus Ahmadiyah yang dianggapnya bertentangan dengan UUD negara dan juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menjamin kebebasan memilih keyakinan berdasarkan kesadaran pribadi. Lebih jauh Ulil mengatakan ada kecenderungan pemerintah membenarkan yang dilakukan sekelompok masyarakat terhadap Ahmadiyah. "Hal ini terlihat ketika terjadi penyerangan terhadap pusat Ahmadiyah di Parung. Sehari sebelumnya ada pertemuan antara pihak-pihak tertentu dengan bupati, dan juga kapolres" katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006