sama-sama ada nikotin dan ini tidak bisa disangkal lagiJakarta (ANTARA) - Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menegaskan bahwa rokok elektrik bukan rokok yang sehat karena bahayanya sama dengan rokok biasa atau konvensional.
“Ada tiga persamaan dasar bahwa rokok elektronik ini sama bahayanya dengan rokok konvensional. Pertama, sama-sama ada nikotin dan ini tidak bisa disangkal lagi,” katanya dalam Media Briefing yang dilaksanakan secara daring, Jumat.
Sebagian besar rokok elektronik, lanjutnya, mengandung nikotin yang menyebabkan adiksi dan penyakit kardiovaskular. Persamaan kedua, rokok elektronik mengandung bahan karsinogen yang menjadi penyebab kanker.
Serta, uap rokok elektronik mengandung bahan-bahan toksik yang merangsang iritatif dan merangsang terjadinya peradangan. Ketiga bahan tersebut, disebut Agus, memiliki dampak yang sama dengan rokok konvensional yang dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti paru kronis, penyakit pembuluh darah hingga stroke.
“Memang ada bahan-bahan di rokok konvensional yang tidak ada di rokok elektronik, sebaliknya ada bahan-bahan yang tidak ada di rokok konvensional ada di rokok elektronik” tegasnya.
Baca juga: Perlunya sosialisasi pengurangan bahaya tembakau kepada perokok dewasa
Baca juga: Rokok elektrik mengandung karsinogen dan zat racun, kata dokter ahli
Lebih lanjut Agus menyampaikan, berdasarkan risetnya bersama dokter paru lainnya, kadar nikotin pada urine pengguna rokok elektronik sebanyak 276,1 ng/ml atau setara dengan kadar nikotin perokok konvensional yang mengonsumsi 5 batang rokok per hari. Kemudian sebanyak 76,5 persen laki-laki pengguna rokok elektronik mempunyai ketergantungan nikotin.
Selain itu, berdasarkan Jurnal Respirologi Indonesia, 2019, menyimpulkan bahwa pajanan asap rokok konvensional menyebabkan kerusakan terbesar paru tikus putih (Rattus) sama maknanya dengan rokok elektronik kadar 3 miligram.
“Jadi kalau orang memakai rokok elektronik kadarnya 3 miligram, itu sama kerusakannya dengan menghirup rokok konvensional,” ucap Agus.
Agus juga mengungkapkan contoh kasus akibat penggunaan rokok konvensional dimana laki-laki usia 23 tahun datang ke klinik kesehatan dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari dengan hanya riwayat batuk.
Diketahui pasien tersebut merokok sejak 10 tahun lalu dan dalam 1 tahun terakhir menggunakan rokok elektronik (vaping) dengan 50 hisap per hari. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien diminta untuk berhenti vaping dan pada akhirnya pasien tidak lagi memiliki keluhan.
“Begitu stop vaping, tidak ada lagi pneumothoraks, tidak ada keluhan lagi. Jadi bisa disimpulkan ini karena vaping, dia tidak dikasih obat macam-macam hanya antibiotik,” jelasnya.
Baca juga: Benarkah rokok elektrik tidak bahaya?
Baca juga: Oksidatif dan iritatif jadi alasan 'vape' berbahaya
Baca juga: Promosi Vape lebih aman dari rokok konvensional dinilai tidak jujur
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022