Pelabelan "kadrun" dan "kampret" merupakan hasil kerja para aktor-aktor politik bercita rasa rendah yang secara sadar telah menciptakan pembelahan publik. Stigma itu masih membekas, masih pula terasa perihnya. Mereka tega memainkan cara-cara destruktif itu demi meraih kemenangan sosok atau kelompok yang dibelanya. Apa pun alasannya.
Publik sungguh belajar banyak dari kontestasi dua hajatan politik akbar di Ibu Kota dan Indonesia, beberapa tahun lalu itu. Mobilisasi opini melalui saluran-saluran media sosial menjadi sarana efektif untuk mempengaruhi preferensi pemilih. Media sosial harus diakui selama 1 dasawarsa terakhir memiliki penetrasi jauh lebih luas dibanding media konvensional.
Pemanfaatan media sosial tersebut diduga bakal makin masif dalam hajatan Pemilu 2024. Ancaman pidana dan denda, seperti dituangkan dalam KUHP dan UU ITE, tidak selalu membuat jera bagi aktor-aktor tunamoral untuk memproduksi konten-konten yang berpotensi memecah belah.
Penyelenggara Pemilu 2024 menyadari potensi perulangan pemanipulasian politik identitas. Indikasinya pelabelan-pelabelan peyoratif masih terus diproduksi untuk merendahkan kelompok lain. Oleh karena itu, ancaman tersebut harus diantisipasi, mulai sekarang ini, sebelum suhu politik kian memanas pada tahun 2023 dan menjelang Pemilu 2024 yang digelar pada 14 Februari.
Mengingat bangsa Indonesia beragam suku, budaya, dan agama, maka penyelenggara pemilu, terutama Bawaslu, dan aparat penegak hukum, dituntut memiliki kepekaan sekaligus kapasitas mengelola segenap potensi konflik yang muncul dalam setiap pemilu.
Aktor-aktor politik machiavellian beserta jaringannya bisa saja kembali memanipulasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), demi mencapai tujuan.
Menggiring opini dengan menyentuh isu SARA memang mudah untuk meraih simpati dan merekatkan kelompok yang memiliki preferensi sama dengan mereka. Namun, pada saat bersamaan manipulasi tersebut memicu kebencian terhadap kelompok lain.
Apalagi bila yang dimainkan bukan hanya satu variabel SARA, melainkan dua-tiga variabel lain yang melekat pada satu kelompok untuk menyerang komunitas minoritas. Oleh karena itu, ujaran kebencian yang bisa menyulut tindakan kekerasan sama sekali tidak boleh mendapat tempat dalam demokrasi.
Konsensus ideal
Sejak berdirinya Indonesia, para pendiri bangsa (founding fathers) sudah sepakat bahwa negeri ini berdiri di atas fondasi kokoh keberagaman yang memberi kesempatan setara bagi setiap orang dan kelompok dari beragam latar belakang untuk memajukan negara-bangsa ini melalui beragam saluran, termasuk partai politik. Realitas mayoritas-minoritas tidak lebih dari data populasi. Data ini tidak bisa digunakan sebagai klaim superioritas politik kelompok satu atas entitas lainnya. Karena semua elemen bangsa ini berada di taman sari yang sama: Indonesia.
Oleh karena itu, partai politik menjadi salah satu pilar tak tergantikan dalam negara demokrasi untuk menghimpun beragam kelompok dan kepentingan guna mencapai tujuan yang lebih besar, yakni keadilan dan kemakmuran bersama.
Menyadari beragamnya kelompok dan kepentingan tersebut, betapa cerdas dan visionernya para pendiri bangsa ini ketika merumuskan dan kemudian menyepakati Pancasila sebagai falsafah bangsa dan ideologi negara.
Pancasila merupakan puncak pencapaian konsensus ideal bagi bangsa Indonesia. Konsensus ini harus senantiasa dirawat dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Guru bangsa Prof. Ahmad Syafii Maarif menegaskan dengan Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab, semua kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti dapat dicegah.
Syafii Maarif dalam buku Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (2012) menegaskan bahwa pluralisme etnis, bahasa lokal, agama dan latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberi keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.
Oleh karena itu, sudah selayaknya setiap upaya mengikis konsensus bersama atas keberagamaan bangsa ini, bisa dicegah, agar dampaknya tidak meluas dan mengancam keutuhan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk.
Di negara mana pun, pemilu selalu diwarnai dengan kontestasi dan kompetisi. Lazimnya sebuah kompetisi, maka dalam perjalanannya acap diwarnai gesekan dan konflik.
Mengingat demokrasi diciptakan untuk menghindari kekerasan, maka sudah seharusnya gesekan dan konflik itu tetap berada pada tataran adu gagasan dan konsep, yang kemudian direalisasikan oleh penentu kebijakan untuk kemaslahatan orang banyak.
Pertentangan gagasan yang dikelola dan dipresentasikan secara sehat dan bermartabat justru akan melahirkan konsensus dan konklusi terbaik yang bermanfaat bagi rakyat.
Selagi masih ada cukup waktu, Pilkada Serentak dan Pemilu 2024 merupakan momentum terbaik untuk membenahi tata cara berkompetisi politik secara sehat dan bermartabat. Bukan dengan dalih demi kepentingan bangsa, lantas aktor-aktor politik machiavellian beserta jaringannya malah kembali “menggoreng” isu politik identitas demi merengkuh dukungan dari konstituen.
Publik sendiri sudah tahu dan merasakan betapa destruktifnya politik identitas bila diterapkan dalam politik elektoral. Kekalahan sang idola dalam kontestasi politik bukan saja meninggalkan kekecewaan, melainkan juga nyeri yang tak kunjung henti.
Sudah saatnya aktor-aktor politik menghentikan kebiasaan laku “menempuh segala cara demi meraih tujuan”.
Wakil rakyat dan pemimpin berintegritas hanya bisa dihasilkan dari proses politik yang sehat dan tidak memecah belah sesama anak bangsa. Dari proses inilah bakal lahir para pemimpin yang sepenuh raga dan jiwanya didedikasikan untuk bangsa.
Sejarah sudah mencatat betapa besar daya rusak politik identitas. Kalau para pendiri bangsa berpuluh tahun silam bisa menyatukan segenap anak bangsa, kini menjadi kewajiban setiap warga negara untuk mempereratnya, bukan meruntuhkannya.
Copyright © ANTARA 2022