Terkait dengan putusan soal peradilan khusus ini, kami mengapresiasi.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan yang diajukan oleh pihaknya memberi kepastian hukum mengenai pihak yang berwenang menangani sengketa hasil pilkada.
"Dengan adanya putusan MK ini, tentu menjadikan adanya kepastian hukum siapa yang berwenang menangani perselisihan hasil pilkada karena sampai saat ini Pasal 157 Undang-Undang Pilkada mengenai pembentukan badan peradilan khusus belum ditindaklanjuti oleh Pemerintah," kata Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa Nur Agustyati, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Selain itu, Ninis menambahkan bahwa putusan MK tersebut juga menegaskan kembali bahwa tidak ada perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada sehingga baik perselisihan hasil pemilu maupun pilkada tetap menjadi kewenangan MK.
Oleh karena itu, Perludem mengapresiasi putusan MK mengabulkan gugatan mengenai pengujian materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait dengan badan peradilan khusus yang menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada.
"Terkait dengan putusan soal peradilan khusus ini, kami mengapresiasi," kata dia.
Sebelumnya, pernyataan mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Perludem tersebut disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 di Jakarta, Kamis.
Dalam amar putusan itu, MK menyatakan mengabulkan permohonan Perludem untuk seluruhnya dan memerintahkan agar putusan tersebut dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Adapun dalam pokok permohonan pengujian UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU (Undang-Undang Pilkada) itu, Perludem menyampaikan tiga poin permohonan.
Pertama, Perludem yang diwakili Ninis dan Bendahara Irma Lidarti sebagai pemohon memohon kepada MK agar menyatakan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang berbunyi "perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi".
Kedua, pemohon memohon pada MK agar menyatakan Pasal 157 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang berbunyi "badan peradilan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak secara nasional" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ketiga, pemohon memohon pada MK agar menyatakan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang berbunyi "perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Hal tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan".
Menurut MK, sebagaimana disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, seluruh dalil pemohon beralasan menurut hukum sehingga hakim mengabulkan seluruhnya.
Baca juga: MK kabulkan seluruh gugatan Perludem soal badan peradilan pilkada
Baca juga: Badan peradilan khusus seharusnya dibentuk sebelum Pilkada 2024
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022