Jakarta (ANTARA) - Hemodialisis atau dalam bahasa awam disebut "cuci darah" menjadi terapi pengobatan yang paling banyak dijalani pada pasien gagal ginjal di Indonesia, kata Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dr. Aida Lydia, Ph.D., Sp.PD-KGH., FINASIM.

Ia merujuk pada data Indonesian Renal Registry pada 2019 yang dihimpun PERNEFRI, menunjukkan pasien gagal ginjal yang melakukan terapi hemodialisis mencapai 99 persen sementara pasien yang melakukan terapi dialisis peritoneal (CAPD) sebanyak satu persen.

“Hemodialisis adalah modalitas yang paling banyak digunakan mencapai 99 persen. CAPD juga meningkat tetapi meningkatnya tidak setajam hemodialisis. Dan hemodialisis ini meningkat setelah memang BPJS Kesehatan diberlakukan di Indonesia,” kata dia dalam diskusi yang diadakan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan salah satu faktor hemodialisis cukup tinggi karena kebanyakan pasien datang sudah dalam kondisi terlambat, seperti yang terjadi di RSCM sebagai RS rujukan terbesar yang mencatat lebih dari 90 persen pasien datang terlambat ke IGD.

“Pada saat datang sudah membutuhkan dialisis karena datang dalam keadaan emergensi. Dan pada saat itu, kami tidak cukup waktu untuk memberikan edukasi, dan pada akhirnya dilakukanlah hemodialisis. Ini adalah salah satu faktor kenapa hemodialisis cukup tinggi,” katanya.

Aida menyebutkan pasien-pasien yang menjalani hemodialisis dari tahun ke tahun angkanya meningkat dengan tajam. Jumlah pasien yang menderita gagal ginjal juga meningkat sehingga kebutuhan untuk terapi pengganti ginjal juga meningkat.

Proses hemodilasis bekerja dengan bantuan mesin khusus untuk menggantikan ginjal yang rusak agar tubuh bisa menyaring darah.

Baca juga: Pasien hemodialisis perlu waspadai kelebihan cairan

Agar dialisis berjalan dengan baik, katanya, diperlukan akses pembuluh darah atau akses vaskular.

Dia mengatakan akses vaskular idealnya harus disiapkan jauh hari sebelum pasien benar-benar memerlukan hemodialisis.

“Kenapa? Karena begitu dokter bedah melakukan operasi yang di mana dilakukan AV shunt antara pembuluh darah nadi dan pembuluh darah balik, untuk betul-betul bisa digunakan, itu perlu waktu. Waktunya berapa lama, tergantung pembuluh darah pasien, kadang bisa dua bulan atau tiga bulan,” terangnya.

Walau hemodialisis banyak dipilih sebagai terapi pengobatan pada pasien gagal ginjal, di sisi lain terdapat masalah kurangnya pemerataan layanan tersebut.

Ia mengatakan unit-unit hemodialisis yang terbanyak berada di Pulau Jawa dan Bali, sementara pulau lainnya masih sedikit.

“Di Sumatera hanya paling banyak di Sumatera Utara, lumayan juga di Sumatera Barat dan (Sumatera, red.) Selatan tapi juga masih terhitung sedikit. Masih sangat sedikit sekali di Kalimantan dan Papua, bahkan ada juga kabupaten yang sama sekali tidak mempunyai hemodialisis,” katanya.

Baca juga: Perangkat hemodialisis RSUD Tulungagung Jatim bertambah jadi 35 unit
Baca juga: Kapasitas pelayanan hemodialisis RS Mardi Rahayu Kudus ditingkatkan

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022