Padang (ANTARA News) - Sistem pengawasan tenaga kerja khususnya kaum buruh di Indonesia masih lemah, karena minimnya SDM yang dimiliki akibatnya banyak terjadi pelanggaran hak bagi kaum buruh. Seharusnya sejak diberlakukannya UU.NO.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan fungsi pengawasan ini telah berjalan, kata Anggota Komisi IX DPR RI M. Arsa Suthisna di Padang Jumat. Menurut dia, semua pasal dalam UU ketenagakerjaan itu baik dan tidak merugikan satu pihak khususnya kaum buruh, namun dalam pelaksanaanya tidak berjalan dengan baik khususnya bidang pengawasan tenaga kerja. Apalagi, katanya, sejak diberlakukan otonomi daerah pengelolaan dinas tenaga kerja dan transmigrasi menjadi tanggung jawab pemda membuat fungsi pengawasan semakin tidak jelas dan tidak berjalan. Lemahnya sistem pengawasan, menurut dia, juga terkait dengan SDM yang sangat kurang karena biaya pendidikan pengawas ketenagakerjaan yang cukup mahal. Idealnya satu pengawas ketenagakerjaan menurut dia, maksimal mengawasi 50 unit perusahaan. Namun di Indonesia jumlah itu masih jauh dari yang diharapkan. Terkait di Sumbar sendiri, katanya, jumlah pengawas yang ada hanya 11 orang, padahal terdapat ratusan perusahaan besar dan kecil di daerah itu. Ia juga mengatakan, kesejahteraan yang rendah membuat mereka cenderung tidak serius dalam menjalankan tugasnya. Pengawas ketenagakerjaan bertugas untuk menyelidiki segala penyimpangan terkait yang tertera dalam UU ketenagakerjaan seperti jaminan keselamatan dan kesejahteraan pekerja yang tidak maksimal. Ke depan, menurut dia, pemerintah perlu memikirkan proses penerimaan tenaga pengawas ini karena jumlah tenaga kerja yang meningkat jumlahnya mencapai 60 ribu orang.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006