Jakarta (ANTARA) - Ketahanan pangan, percepatan tersedianya energi terbarukan, digitalisasi pada sejumlah aspek kehidupan, pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) hingga penguatan program penelitian dan pengembangan menjadi tantangan riil pembangunan nasional era terkini dan di masa depan. Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) mendorong pemerintah dan semua elemen bangsa bersepakat memprioritaskan respons negara-bangsa terhadap semua tantangan riil itu.

Ragam tantangan riil itu mengemuka seturut perubahan zaman. Sebagai buah dari perubahan, semua tantangan itu tak terelakkan sehingga mendorong semua elemen negara-bangsa beradaptasi. Respons dan penyikapan terhadap ragam tantangan baru itu harus konsisten dan berkelanjutan. Karena itulah negara-bangsa butuh PPHN sebagai penunjuk arah pembangunan nasional.

Dalam konteks mewujudkan kemampuan negara-bangsa untuk terus beradaptasi dengan perubahan zaman, PPHN praktis menjadi keniscayaan. Idealnya, PPHN dipahami sebagai pijakan politik negara-bangsa mewujudkan kesejahteraan warga bangsa di tengah perubahan zaman. Sebab, dengan selalu berpijak pada PPHN, negara dimampukan untuk melaksanakan kewajibannya mewujudkan kesejahteraan. Agar negara dapat mewujudkan kesejahteraan segenap warganya, politik pembangunan harus selalu mengacu pada politik kesejahteraan itu, siapa pun pemimpin atau presidennya.

Sebab, kepatuhan pada PPHN-lah yang akan memastikan kemampuan negara-bangsa beradaptasi dengan perubahan zaman yang nyata-nya telah menghadirkan ragam tantangan baru itu. PPHN pula yang akan mewajibkan setiap pemerintahan, baik pusat maupun daerah, untuk selalu fokus dan berorientasi pada upaya menjawab semua tantangan riel itu.

Kebutuhan negara akan PPHN era terkini dan di masa depan sangat relevan. Alasan utamanya, tantangan yang dihadapi tidak ringan dan juga cukup beragam. Jawaban terhadap ragam tantangan itu butuh proyeksi, perencanaan, dan kerja yang berfokus serta berkelanjutan. Maka, harus terwujud konsistensi kepatuhan pada PPHN sebagai pijakan. Artiya, jangan sampai tampilnya pemerintahan baru membelokkan fokus dan orientasi pembangunan nasional.

Semua orang sudah merasakan ekses perubahan iklim karena dampaknya terjadi pada semua aspek kehidupan. Suhu bumi yang naik tak hanya menyebabkan naiknya temperatur bumi, melainkan juga mengubah pola iklim. Perubahan itu tentu menghadirkan persoalan sekaligus menjadi tantangan.

Tantangan riil paling utama bagi negara-bangsa adalah menjaga dan merawat ketahanan pangan. Agenda ini perlu mendapat perhatian khusus, karena perubahan pola iklim dengan segala eksesnya berpotensi melemahkan ketahanan pangan nasional di masa depan. Generasi muda juga patut menggarisbawahi agenda ini karena perubahan iklim merusak pola tanam. Karena alasan ini, aspek ketahanan pangan nasional di masa depan ditetapkan dalam PPHN, agar setiap penyelenggara pemerintahan, baik pusat maupun daerah, taat dan konsisten bekerja mewujudkan ketahanan pangan.

Sebagaimana dipahami bersama, perubahan iklim menyebabkan terjadinya kekacauan pola musim yang berdampak signifikan pada sektor pertanian tanaman pangan. Dari aspek kesuburan, daya dukung lahan terus menurun. Hasil penelitian para ahli juga menyebutkan bahwa dari aspek volume, ketersediaan air pun semakin berkurang dengan kualitas yang terus menurun. Belum lagi munculnya faktor gangguan lain terhadap tanaman padi seperti hama wereng batang coklat.

Fakta-fakta seperti itu menyebabkan produktivitas sektor pertanian pun terus menurun dari waktu ke waktu. Kasus gagal panen pada berbagai tanaman pangan sudah sering terjadi. Upaya beradaptasi dengan mencoba mengubah musim tanam pun menjadi tidak mudah karena cuaca yang serba tak menentu itu. Karena itu, diperlukan peningkatan aktivitas penelitian dan pengembangan (Litbang) untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

Selain aspek ketahanan pangan, Indonesia pun sejak sekarang harus bekerja lebih sungguh-sungguh mempercepat tersedianya energi terbarukan yang bersih. Sebagai bagian dari komunitas global yang telah bersepakat untuk menghentikan penggunaan energi fosil yang polutif, Indonesia pun harus segera mewujudkan tersedianya energi alternatif.

Untuk menyediakan energi terbarukan, Indonesia memiliki modal yang lebih dari cukup. Modal itu adalah sumber daya alam (SDA) yang masih tersimpan di perut bumi nusantara. Agar semua SDA itu bernilai tambah bagi kehidupan, diperlukan kerja keras berkelanjutan. Indonesia memiliki cadangan nikel, bauksit dan tembaga yang cukup.

Belum lagi potensi energi hijau yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga hidro. Potensinya besar karena Indonesia memiliki 4.400 sungai. Ada juga potensi pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal). Pembangkit geothermal sangat melimpah dengan potensi mencapai 29 ribu megawatt, namun baru bisa direalisasikan sekitar 2.000 Megawatt.

Keragaman SDA Indonesia yang berlimpah ini belum digarap dengan maksimal akibat keterbatasan modal dan teknologi. Padahal, ketika nantinya komunitas global merealisasikan kesepakatan untuk tidak lagi menggunakan energi fosil yang polutif, keragaman SDA itu akan sangat dibutuhkan dunia. Itu sebabnya, PPHN akan mewajibkan pemerintah untuk lebih bersungguh-sungguh menggarap SDA nasional untuk menghadirkan energi alternatif pengganti energi fosil.

Tantangan riil lainnya yang juga tak kalah strategisnya adalah digitalisasi. Menjadi fakta tak terbantahkan bahwa roda perubahan zaman terus berputar, dan kadang terasa demikian cepat. Perubahan itu menghadirkan kebutuhan dan tuntutan baru yang berbeda dengan era sebelumnya.

Sebutlah kebutuhan dan tuntutan akan digitalisasi yang mewarnai dinamika kehidupan masa kini. Sebagai wujud perubahan, digitalisasi tak bisa dihindari oleh siapa pun, baik masyarakat perkotaan maupun mereka yang bermukim di pelosok-pelosok desa. Dalam konteks digitalisasi, nyaris tak ada lagi daerah atau wilayah yang terisolasi. Itu sebabnya, PPHN pun memberi penekanan pada aspek ini.

Komunitas global sudah mengadopsi Industri 4.0, era baru yang juga menghadirkan begitu banyak perubahan di bidang ekonomi dan industri. Proses yang konvensional pada era Industri 3.0 sudah harus ditinggalkan. Sebab, proses produksi dan distribusi pada sektor industri di era Industri 4.0 bekerja dengan dukungan teknologi digital dan internet.

Digitalisasi dalam proses produksi dan distribusi mengharuskan semua entitas yang terkait langsung dengan industri harus selalu terkoneksi untuk komunikasi dan berbagi informasi. Konsekuensinya, kecepatan tersedianya data dan informasi menjadi faktor yang utama.

Tak ada pilihan bagi generasi milenial dan generasi Z, kecuali segera beradaptasi dan mengadopsi perubahan-perubahan dimaksud. Utamanya karena dunia kerja juga berubah, tidak sama lagi dengan era Industri 3.0. Pada era sekarang, banyak fungsi dalam organisasi manajemen tidak lagi butuh otak dan tenaga manusia, karena sudah digantikan oleh internet of things (IoT).

Sudah barang tentu Indonesia harus terus memperkuat aspek kesiapan sumber daya manusia (SDM). Sekarang dan nanti, Indonesia butuh begitu banyak talenta digital.Tantangannya tak berhenti pada kebutuhan talenta digital. Persoalan berikutnya adalah seberapa jauh kesiapan dan kemauan dunia pendidikan nasional beradaptasi dengan perubahan sekarang ini. Kemauan beradaptasi setidaknya harus tercermin pada perubahan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan jaman.

Aspek lain yang tak kalah pentingnya adalah percepatan realisasi infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di dalam negeri. Bagaimana pun, TIK sudah diterima dan dipahami sebagai infrastruktur paling penting pada era sekarang.

Karena perubahan-perubahan itulah tantangan dan agenda pembangunan era terkini dan di masa depan praktis sangat berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya. Dengan demikian, urgensi PPHN menjadi sangar jelas.

*) Bambang Soesatyo adalah Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Hukum Ilmu Sosial & Ilmu Politik (PHISIP) Universitas Terbuka

Copyright © ANTARA 2022