Jakarta (ANTARA) - Pembangunan pertanian yang selama ini diterapkan di negara ini, telah memberi hasil yang memuaskan. Pembangunan pertanian, khususnya di sektor perberasan, benar-benar mampu menorehkan sejarah yang membanggakan di pentas dunia.
Indonesia, yang semula dikenal sebagai salah satu importir beras yang cukup besar di dunia, pada tahun 1984 mampu memproklamirkan diri sebagai bangsa yang berswasembada beras.
Tidak hanya itu, belum lama berselang kembali lembaga riset padi dunia International Rice Reseach Institute (IRRI) memberi penghargaan kepada Pemerintah Indonesia atas kisah sukses meraih Swasembada Beras 2019-2021. Inilah salah satu bentuk keperkasaan sektor pertanian.
Bayangkan, di saat warga dunia dirisaukan akan adanya krisis pangan global, Indonesia malah mampu mengukirkan lagi Swasembada Beras.
Apa yang dianugerahkan IRRI tentu bukan tanpa alasan. IRRI tentu tidak akan gegabah memberi penghargaan. IRRI tahu persis apa dan bagaimana seriusnya Pemerintahan Presiden Jokowi memacu pembangunan pertanian menuju swasembada di berbagai macam komoditas strategis, sekaligus berkomitmen untuk menyetop impor beras konsumsi.
Namun begitu, kehati-hatian tetap harus dilakukan. Swasembada Beras, bukan selesai dengan diberikannya plakat penghargaan. Yang lebih penting adalah bagaimana melestarikannya menjadi sebuah kebiasaan dan tradisi.
Banyak tantangan yang harus disiapkan agar Swasembada Beras tetap berkelanjutan. Selain perlunya komitmen untuk selalu berpihak kepada sektor pertanian, pemerintah diharapkan mampu menangkap isu-isu strategis apa yang butuh penanganan dengan sungguh-sungguh.
Indonesia perlu menjaga agar produksi padi tidak melorot. Maka Indonesia juga harus siap menghadapi datangnya iklim ekstrem yang secara tiba-tiba kemungkinan hadir ke negeri ini.
Bangsa ini harus mampu menjaga agar produksi dan produktivitas padi tetap meningkat. Lebih jauhnya lagi, Indonesia perlu mengantisipasi segudang masalah yang menghadang di setiap langkah dan kebijakan.
Saat ini ada dua masalah serius terkait dengan lahan pertanian. Pertama, terkait dengan semakin membabi-butanya alih fungsi lahan dari lahan pertanian produktif ke nonpertanian. Kedua, semakin masifnya alih kepemilikan lahan pertanian dari petani ke nonpetani. Kedua, masalah ini tampak dan terang benderang di hadapan sektor pertanian yang mengancam pasokan pangan masyarakat.
Tantangan berat
Alih fungsi lahan dan alih kepemilikan lahan merupakan tantangan berat yang dihadapi oleh pembangunan pertanian di masa kini dan mendatang.
Alih fungsi lahan yang tidak terkendali, menyebabkan jumlah lahan pertanian produktif menjadi semakin menurun, sedangkan alih kepemilikan lahan dari petani ke nonpetani, bakal meminggirkan petani dari panggung pembangunan.
Soal alih fungsi lahan sebetulnya telah berlangsung sejak lama. Pertambahan jumlah penduduk yang berlangsung dengan cepat, menuntut mereka untuk memperoleh tempat tinggal yang layak.
Mereka butuh perumahan atau permukiman baru bagi kelangsungan hidup keluarganya. Para pengembang perumahan sendiri lebih senang mencari lahan yang sudah matang. Pilihannya, pasti ke lahan pertanian pangan.
Fenomena yang terjadi di Jawa Barat, bisa dijadikan teladan, bagaimana alih fungsi lahan yang membabi-buta akan menurunkan hasil produksi pertanian.
Sejak lama, Jawa Barat dikenal sebagai lumbung padi nasional. Dalam hal produksi padi, Jawa Barat selalu menempati peringkat pertama atau kedua sebagai provinsi penghasil padi terbesar di negeri ini. Kedua peringkat tertinggi ini selalu menjadi rebutan untuk Jawa Barat dan Jawa Timur.
Hal ini wajar terjadi, karena dilihat dari luas sawah baku, Jawa Timur dan Jawa Barat memiliki luasan yang cukup besar. Hanya Jawa Tengah yang tidak jauh berbeda luas sawah bakunya. Tiga Provinsi ini jauh memiliki lahan sawah yang luas, di atas provinsi lainnya. Di bawahnya baru Provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan.
Sekarang suasananya sudah berubah. Jawa Barat kini tergeser oleh Jawa Tengah dan menempati peringkat ke tiga dalam produksi padi tertinggi di Indonesia.
Catatan kritisnya adalah mengapa Jawa Barat tidak mampu bertahan untuk menjaga posisi yang selama ini digenggamnya? Ada apa dengan perkembangan pembangunan pertanian di Jawa Barat? Segudang alasan dapat saja disampaikan. Hanya yang paling logis adalah karena adanya alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali.
Pesatnya pembangunan proyek nasional, seperti pembangunan Waduk Jatigede di Sumedang, pembangunan bandara internasional Kertajati di Majalengka, pembangunan pelabuhan bertaraf internasional Patimban di Subang, pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung dan lain sebagainya, tentu akan mendorong semakin cepatnya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi. Belum lagi yang berkaitan dengan pengembangan industri.
Yang membuat khawatir, program pencetakan sawah yang diharapkan dapat mengganti sawah yang teralih lahan itu, ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Secara tegas dapat dikatakan, program pencetakan sawah di Jawa Barat belum mencapai harapan. Konsekuensi dari semuanya itu adalah lahan sawah menjadi berkurang jumlahnya. Dampak ikutannya, produksi padi di Jawa Barat merosot dengan tajam. Jadilah berada di peringkat ke tiga tingkat nasional.
Secara lengkap, data BPS menggambarkan kesemuanya itu produktivitas di Jawa Timur padi sebesar 9.908.932 ton sementara beras 5.692.143 ton;
Jawa Tengah padi 9.765.167 ton sementara beras 5.586.621 ton; lalu Jawa Barat padi sebanyak 9.354.369 ton sementara beras 5.374.153 ton.
Berjalan masif
Seiring dengan itu, Jawa Barat pun dilanda alih kepemilikan lahan pertanian dari petani ke nonpetani. Apa yang terjadi di pantai utara Jawa Barat, memberi penegasan bahwa alih kepemilikan lahan ini berjalan secara masif.
Sekitar 70 persen lahan sawah yang ada di Jawa Barat dikuasai oleh bukan petani, tapi dimiliki oleh orang-orang Jakarta atau Bandung. Para petaninya sendiri berubah dari pemilik jadi penggarap atau buruh di pertanian.
Dihadapkan kepada hal yang demikian, mestinya pemerintah bergerak cepat untuk mengatasi dan mencarikan solusi cerdasnya. Regulasi setingkat UU ternyata tidak mampu mengerem terjadinya alih fungsi lahan.
Apa yang tertulis di atas kertas, kelihatannya tidak mampu menjaga lahan sawah yang ada agar tidak beralih fungsi oleh program atau kegiatan yang bukan pertanian.
Lebih gawat lagi jika ada strategi atau siasat tertentu untuk memuluskan alih fungsi berlangsung.
Apa pun pertimbangan dan alasannya, "pengambil-alihan" lahan milik petani oleh yang bukan petani, sebaiknya jangan dibiarkan terus terjadi.
Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan inilah yang menjadi sumber penghidupan mereka guna melangsungkan kehidupannya. Lahan ini pula yang membuat nyawa mereka tetap tersambung. Lebih jauhnya lagi, lahan sawah merupakan modal utama bagi petani dalam menyongsong masa depannya.
Proses alih fungsi lahan pertanian produktif yang serampangan menjadi pemukiman/perumahan, pengembangan infrastruktur dasar, pembangunan kawasan industri dan yang sejenis dengan itu, tentu harus dicegah.
Semua ini perlu dikendalikan dengan penuh tanggung jawab. Stop "perampasan" lahan pertanian produktif.
Pemerintah dituntut untuk bersikap tegas terhadap oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan sesaat. Sekali saja lengah, taruhannya adalah nasib dan kehidupan anak cucu di masa depan.
*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2022