Paris (ANTARA) - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengatakan pada Senin (26/9/2022) bahwa pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan akan tetap lemah pada paruh kedua 2022, sebelum melambat lebih lanjut pada 2023 menjadi pertumbuhan tahunan hanya 2,2 persen.
"Faktor utama yang memperlambat pertumbuhan global adalah pengetatan kebijakan moneter secara umum, didorong oleh pencapaian target inflasi yang melampaui perkiraan," jelas OECD dalam Economic Outlook terbarunya.
Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahunan diproyeksikan melambat tajam menjadi 0,5 persen di Amerika Serikat pada 2023, dan menjadi 0,25 persen di zona euro, dengan risiko penurunan output di beberapa ekonomi Eropa selama bulan-bulan musim dingin.
Organisasi tersebut mencatat bahwa inflasi telah menjadi berbasis luas di banyak negara. "Kekurangan bahan bakar yang lebih parah, terutama untuk gas, dapat mengurangi pertumbuhan di Eropa sebesar 1,25 poin persentase lebih lanjut pada 2023 ... dan meningkatkan inflasi Eropa lebih dari 1,5 poin persentase," katanya.
Sementara itu, "China terus mengalami inflasi yang relatif rendah dan stabil," tambahnya.
OECD mengakui bahwa dengan berputarnya siklus ekonomi global, meredanya inflasi harga energi dan pengetatan moneter oleh sebagian besar bank sentral utama semakin berpengaruh, inflasi harga konsumen diperkirakan akan melambat secara bertahap.
Namun, masih diperkirakan bahwa "inflasi tahunan pada 2023 akan tetap jauh di atas target hampir di mana-mana."
Baca juga: OECD sebut inflasi adalah risiko utama terhadap prospek ekonomi global
Baca juga: OECD usulkan aturan pajak berbasis gender dalam Presidensi G20 RI
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022