Jakarta (ANTARA) - Sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa berkemanusiaan yang adil dan beradab telah teruji sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini.

The Founding Fathers (Bapak bangsa) bumi pertiwi telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi persatuan dan kesatuan negeri. Pasalnya Nusantara terletak di antara dua benua dan dua samudera serta dikaruniai limpahan kekayaan alam luar biasa oleh Allah, tentu saja sangat menarik bagi bangsa-bangsa lain.

Bumi khatulistiwa dengan segala kelebihan tersebut juga ‘menjanjikan’ bagi para pengungsi. Hanya brainstorming, menoleh sekilas secara historis, pengungsi dimulai tahun 1979, yaitu saat kisaran 179.000-250.000 pengungsi Vietnam atau "manusia perahu" terdampar di Kepulauan Bumi Lancang Kuning.

Sebagaimana diketahui, para pengungsi akhirnya ditempatkan di Pulau Galang yang dikhususkan sebagai penampungan sementara pada masa itu (bukan bermaksud membuka lembaran lama, namun hanya berupaya berkhikmat pada penanganan pengungsi pada era empat dasawarsa silam).

Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) dan Pemerintah Indonesia berinisiasi mendirikan sejumlah fasilitas, mulai dari tempat tinggal, rumah ibadah, kesehatan, tempat pemakaman hingga penjara.

Para pengungsi pun hidup di pulau tersebut hampir selama 17 tahun, sampai seluruhnya berhasil disalurkan ke berbagai negara ketiga. Tentu saja kala itu Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) belum lahir.

Dalam ketentuan fungsi Rudenim, antara lain pendataan ulang terkait jumlah pencari suaka dan pengungsi yang saat ini berada di Rudenim; berkoordinasi dengan pihak IOM dan pemerintah kabupaten atau kota di wilayah kerjanya untuk memastikan ketersediaan tempat penampungan sementara bagi pencari suaka dan pengungsi yang akan dipindahkan dari Rudenim; menyarankan secara penuh persetujuan penetapan tempat penampungan sementara bagi para pencari suaka dan pengungsi kepada pemerintah kabupaten atau kota.

Untuk mengurai permasalahan pengungsi mancanegara yang cukup kompleks, dapat dimulai dengan pengategorian pengungsi ke dalam dua kelompok, yaitu pengungsi yang ditempatkan di community house (CH) dan pengungsi yang tidak ditempatkan di CH.

Mengapa dikategorikan dalam dua golongan tersebut? Sebab dari penempatan pengungsi asing tersebut dapat ditelisik, mulai bergulirnya persoalan baru akibat adanya interaksi sosial pengungsi dengan masyarakat sekitar.

Saat ini terdapat sekitar delapan titik di wilayah Indonesia yang memiliki CH bagi para pengungsi mancanegara.

Penempatan pengungsi luar negeri di CH akan menjadi lebih efektif dan efisien bila pengungsi dibatasi berinteraksi dengan penduduk lokal.

Pembatasan komunikasi langsung pengungsi asing dengan warga lokal sangat penting. Masalahnya dalam tiap pola interaksi sosial, selalu ada efek yang ditimbulkan bila ada perbedaan budaya antarkelompok masyarakat.

Dalam menangani pengungsi mancanegara telah ada ketentuan Perpres No.125 Tahun 2016. Hal yang diatur, antara lain pengawasan pengungsi asing, agar pengaruh asimilasi pengungsi mancanegara dengan penduduk lokal dapat diminimalisasi maka aturan tersebut harus direalisasikan secara tegas.

Beberapa waktu yang lalu, pengungsi mancanegara di Makassar telah menimbulkan masalah, yaitu adanya kasus perkawinan campuran antara pengungsi mancanegara dengan penduduk lokal, yang telah berdampak cukup luas, antara lain tidak menutup kemungkinan, perkawinan campuran tersebut dijadikan sebagai jalur narkotika dan penyebaran aliran yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.

Selain itu, juga terbuka kemungkinan adanya penyebaran paham radikal, mengingat negara asal pengungsi asing itu karena konflik perbedaan paham/aliran. Kausanya, seseorang yang menganut pemahaman aliran tertentu cenderung menyebarkan paham tersebut pada orang lain yang bersosialisasi dengannya.

Sedikit menambahkan efek negatif dari perkawinan campuran tersebut, yaitu apabila pihak laki-laki (pengungsi asing) dan akan ditempatkan ke negara ketiga, istri (WNI) tidak dapat ikut serta ke negara ketiga, sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga dapat dibayangkan bagaimana nasib anak dan istri yang ditinggalkan di Indonesia.

Belum lagi bila pria yang notabene pengungsi dan tidak memiliki pekerjaan. Maka bagaimana sebagai kepala keluarga dapat membiayai istri dan anaknya.

Bahkan dari segi reglemen perkawinan, perkawinan tersebut tidak sah (karena pengungsi tidak memiliki dokumen yang disyaratkan dalam prosedur perkawinan campuran) walaupun anak yang dilahirkan dapat memperoleh akte kelahiran sesuai frasa pencatatan akte lahir yang ada.

Jika para pengungsi di Makassar dapat direlokasi ke pulau yang tidak berpenghuni di propinsi Sulawesi Selatan, maka ekses negatif dari kehadiran pengungsi mancanegara itu dapat ditekan, terutama kontak dengan warga lokal dapat diputus.

Ihwalnya pergaulan dengan penduduk lokal, mungkin dimanfaatkan oleh pengungsi asing untuk kepentingannya. Dampak sosial budaya hingga ketahanan bangsa tersebut, telah menggerakkan unsur dari Rudenim Makassar untuk melakukan kajian terbatas secara hibrida pada medio Agustus 2022.

Memang hingga saat ini belum ada data secara nasional dan resmi mengenai jumlah pengungsi asing yang menikah dengan WNI. Namun, di beberapa titik tempat penampungan pengungsi mancanegara telah ada sejumlah kasus perkawinan campuran.

Pemerintah dapat melakukan upaya konkret sebelum masalah ini semakin besar dan sulit untuk diatasi.

Potensi lain adalah timbulnya gesekan antara pengungsi asing dengan masyarakat sekitar karena adanya perbedaan pandangan keagamaan. Misalnya penolakan keberadaan pengungsi Iran di Langkat-Sumatera Utara dengan alasan perbedaan mazhab.

Ilustrasi di atas merupakan efek yang sangat tidak diharapkan atas kehadiran para pengungsi asing dan pengaruh yang tidak dapat diukur secara nominal, namun berdampak luas bagi tatanan kehidupan sosial budaya bangsa.

Sedangkan pengungsi mancanegara yang tidak ditempatkan di CH secara nyata telah berimbas pada tatanan kehidupan warga sekitar. Yang sempat menjadi sorotan media ialah para pengungsi asing yang berjumlah sekitar 1.600 di daerah Puncak, Jawa Barat, yang telah meresahkan dan mengganggu pariwisata.

Kiranya mendesak untuk dilakukan relokasi ke daerah yang lebih mendukung keberadaan mereka sekaligus meminimalkan interaksi sosial dengan warga sekitar, misalnya ke salah satu pulau tak berpenghuni di Kepulauan Seribu. Pastinya ini perlu dukungan penuh dari para pemangku kepentingan terkait, di antaranya Pemerintah DKI Jakarta, Rudenim, Kemendagri, organisasi internasional. Atau alternatif lain bagi pengungsi mancanegara tersebut, harus direlokasi ke dalam CH.

Penempatan pengungsi asing pada suatu lokasi tertentu serta tertutup dari akses masyarakat sekitar juga dapat menjadi solusi atas banyaknya subjek final rejection (pengungsi yang tidak dapat memperoleh kartu pengungsi karena alasan tertentu) saat ini yang tidak diketahui keberadaannya, namun berbaur dengan masyarakat.

Jika pengungsi ditempatkan dalam CH atau di pulau tertentu, dapat memudahkan untuk mengontrol pengungsi yang final rejected, sehingga dapat dilakukan deportasi. Ihwalnya bila pengungsi tidak terkonsentrasi pada satu titik, pengungsi tersebut dapat dengan mudah berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain tanpa terawasi oleh pemangku kepentingan.

Menelisik dari segi jumlah pengungsi di Pulau Galang, yaitu sekitar dua ratus ribuan, tentu jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah pengungsi asing saat ini ialah berkisar di angka tiga belas ribu.

Konsentrasi pengungsi asing pada satu pulau memiliki sejumlah keuntungan, seperti para pengungsi dapat diawasi secara penuh oleh para pemangku kepentingan. Serta yang paling penting dan utama ialah tidak terjadi proses kontak sosial dengan penduduk setempat.

Penempatan pengungsi asing pada suatu pulau juga dapat meminimalkan terjadinya proses difusi budaya dengan penduduk lokal yang dapat berimplikasi negatif.

Sebagai ilustrasi walaupun jumlah pengungsi mancanegara saat ini sekitar 13.000, namun interaksi yang tidak dibatasi dengan penduduk sekitar telah menimbulkan berbagai persoalan sosial yang telah dikemukakan di atas.

Banyaknya persoalan pengungsi mancanegara yang timbul sejak tahun 1997, yang apabila diakumulasi secara waktu hingga saat ini berarti sudah 25 tahun. Mari kita bandingkan dengan jangka waktu para pengungsi dari Vietnam, yang hanya sekitar 17 tahun.

Karenanya, pemerintah perlu menyiapkan skema untuk menyelesaikan persoalan pengungsi mancanegara yang dimulai pada tahun 1997, yaitu saat pecah perang saudara di Afganistan.

Tanpa program dan target penyelesaian pengungsi asing, maka Indonesia yang tadinya hanya sebagai tempat transit pengungsi mancanegara, secara perlahan akan bermetamorfosis menjadi tempat penampungan pengungsi mancanegara.

Memang disadari ini membutuhkan sinergi, kolaborasi dan keberlangsungan dari para pemangku kepentingan, baik dari segi perencanaan maupun implementasi. Namun, untuk penuntasan persoalan pengungsi mancanegara, antara lain bisa dimulai dengan menyiapkan target kuantitas resettlement (penempatan ke negara ketiga) tiap tahun dan Assisted Voluntary Returned/AVR (bantuan pemulangan secara sukarela) tiap triwulan, hingga secara perlahan bisa dinolkan kuantitas pengungsi mancanegara di Tanah Air.

Walaupun resettlement dan AVR telah dilakukan tiap tahun, namun jumlahnya tidak signifikan dari total pengungsi asing.

Meskipun begitu, Bangsa Indonesia mampu melakukan ini, bila bercermin pada pengalaman empat dekade lalu.

Alhasil semoga menjadi solusi konkret yang menuntaskan bagi berbagai problematika pengungsi mancanegara yang telah hadir sekitar seperempat abad di negeri ini.

*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si, adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Ditjen Imigrasi, Kemenkumham.

Copyright © ANTARA 2022