Jakarta (ANTARA) - Para peneliti China mengembangkan masker digital untuk memfasilitasi anonimitas seorang pasien ketika menemui dokter dan mengamankan privasi wajah pasien, menurut sebuah artikel penelitian yang baru-baru ini diterbitkan di jurnal Nature Medicine.
Wajah seseorang dapat menunjukkan berbagai fitur fisiologis atau patologis tubuh manusia. Oleh karena itu, informasi wajah penting untuk diagnosis klinis dan pengobatan berbagai penyakit, seperti sistem oftalmologi, kardiovaskular, dan saraf.
Selain menjadi salah satu informasi biometrik dari tubuh manusia yang paling penting dan tidak dapat diedit, wajah juga memiliki fungsi pengenalan identitas. Jadi, penyimpanan citra wajah dalam rekam medis menimbulkan risiko privasi karena sensitivitas informasi biometrik pribadi yang dapat diambil dari citra semacam itu.
Guna meminimalkan risiko-risiko tersebut, para peneliti dari sejumlah universitas dan institut seperti Universitas Sun Yat-sen dan Universitas Tsinghua mengembangkan masker digital, yang didasarkan pada rekonstruksi tiga dimensi (3D) dan algoritma pembelajaran mendalam (deep learning) untuk menghapus secara permanen fitur-fitur yang dapat diidentifikasi, sembari mempertahankan fitur-fitur terkait penyakit yang diperlukan untuk diagnosis, kata artikel penelitian itu.
Dalam studi klinis untuk mengevaluasi masker digital tersebut, teknologi baru itu memenuhi persyaratan diagnosis klinis dan menurunkan tingkat pengenalan identitas ke angka 27,3 persen. Tingkat pengenalan identitas metode masker tradisional untuk melindungi informasi pribadi saat ini lebih tinggi dari 90 persen.
Para peneliti juga menemukan bahwa penggunaan masker digital meningkatkan kesediaan pasien yang menderita penyakit mata untuk memberikan citra wajah mereka sebagai informasi kesehatan selama perawatan medis.
Hasil ini menunjukkan bahwa masker digital memiliki potensi besar di rumah sakit internet dan telemedisin.
Pewarta: Xinhua
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022