Surabaya (ANTARA News) - Ulama dan tokoh senior NU, KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) menyatakan ulama se-Indonesia mendukung "political warning" yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Australia terkait pemberian suaka politik kepada 42 warga Papua. "Saya kira Presiden Tudhoyono memang harus tegas dan perlu lebih tegas lagi, karena tanpa adanya political warning seperti itu, maka Australia akan dengan seenaknya mencampuri urusan dalam negeri dan merusak kedaulatan negara lain," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Jumat. Ia mengemukakan hal itu menanggapi hubungan Indonesia-Australia yang akhir-akhir ini memanas setelah Pemerintah Federal melalui DIMA (Departemen Imigrasi Australia) memberikan visa menetap sementara kepada 42 dari 43 pencari suaka politik dari Papua. Setelah itu, Presiden Yudhoyono memerintahkan Duta Besar Indonesia di KBRI Canberra untuk pulang ke Jakarta, dan akan meninjau sejumlah kerja sama dengan Australia, bahkan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) pun siap memboikot seluruh produk Australia. Menurut Pak Ud yang juga pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim, itu, sikap Australia itu sebenarnya sudah pernah dilakukan diplomat Amerika pada tahun 1960-an yakni Patrick Kennedy. "Diplomat yang senator dari Partai Demokrat AS itu sempat membawa sejumlah warga Papua ke negaranya dan di negara orang itulah warga Papua mengkampanyekan bahwa mereka dijajah orang Jawa," kata putra pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy`ari itu. Mantan politisi senior itu menyarankan pemerintah jangan terpengaruh dengan pernyataan Australia, karena tindakan Australia itu sudah jelas mengganggu kedaulatan orang lain yang tak dapat dibenarkan dengan argumentasi apa pun. "Australia itu berlebihan, karena itu pemerintah jangan sampai terpengaruh dengan memperlunak sikap. Presiden harus tetap tegas kepada Australia, jangan khawatir dengan dukungan kami dan seluruh rakyat Indonesia di belakangnya," katanya. Ia menambahkan sikap Australia itu tak lebih dari persepsi yang keliru terhadap Indonesia bahwa Indonesia merupakan ancaman bagi Australia karena memiliki militer yang militan dan memiliki penduduk muslim yang militan. "Sikap itu keliru besar, karena Indonesia seperti gambaran mereka adalah era Orde Baru, sedangkan Indonesia sekarang sudah menjadi negara demokratis melalui Pemilu 2004. Kalau penduduk muslim militan itu juga bukan watak asli muslim Indonesia, melainkan pengaruh dari connecting global yang tak hanya ada di Indonesia, tapi di Australia juga ada," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006