Denpasar (ANTARA) - Festival Demokrasi Energi yang diadakan di Denpasar, Bali, 24-25 September 2022 oleh sejumlah penggiat lingkungan hidup menyoroti beberapa isu penting terutama kemauan politik dari negara-negara anggota G20, yang akan mengadakan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi pada 15-16 November 2022 di Nusa Dua, Bali.

Suriadi Darmoko, Finance Champaigner 350 Indonesia, saat ditemui di sela-sela festival Demokrasi Energi di Denpasar, Bali, Senin, mengatakan pertemuan delegasi negara G20 dari tingkat menteri sampai kepala negara dibutuhkan kemauan politik untuk melaksanakan sejumlah isu global yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut.

Darmoko menjelaskan pertemuan G20 yang dikomandoi Indonesia hanya akan berdampak luas dan berkontribusi positif bagi dunia internasional jika dokumen yang dihasilkan tidak hanya menghasilkan catatan hasil pertemuan semata, tetapi dibarengi dengan implementasi yang serius.

Dia mencontohkan inisiatif Indonesia untuk menghasilkan dokumen Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (COMPACT) yang berisi tentang prinsip-prinsip fundamental dalam mempercepat transisi energi menjadi acuan bagi negara anggota G20 dalam mempercepat transisi energi harus dimunculkan dalam bentuk komitmen dan aksi nyata.

"Perlu kemauan politik yang serius dan ambisius untuk mentransmisikan energi. Memang kita perlu tahapan. Tidak baik juga tiba-tiba memutuskan sekarang tanpa perencanaan yang bagus karena ada satu skema yang kita dorong transisinya yang disebut transisi yang adil," kata dia.

Yang terpenting dari situasi saat ini kata Darmoko adalah tidak membangun ataupun memberikan ijin baru kepada pihak penyedia energi yang berbahan dasar fosil ataupun sejenisnya. Kalau pun ingin membangun yang baru sumber energi yang dibutuhkan mesti terbarukan.

Sependapat dengan Darmoko, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting menyatakan pihaknya menyikapi secara baik komitmen pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan yang dibahas dalam presidensi G20 dan mendorong transisi energi berkeadilan.

Tema umum G20 "Recover Together Recover Stronger" diharapkan menjadi kenyataan dalam upaya mendukung transisi berkeadilan, meninggalkan fosil sambil memikirkan upaya pemberdayaan para pekerja di sektor fosil yang sementara berjalan.

“Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh," kata Pius Ginting.

Perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi sangat diperlukan, sehingga membangkitkan konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim.

Pius Ginting menyatakan dokumen kesepakatan dalam presidensi G20 akan mubazir jika pengadaan energi masih sentralistik, dikuasai oleh segelintir negara tertentu ataupun elite dalam satu negara. Pius pun memberikan kritik terhadap praktik pengadaan energi dalam konteks Indonesia sambil memberikan solusi alternatif terhadap pengelolaan energi.

"Penting melakukan demokrasi transisi energi, ada prinsip semua mendapat akses. Jadi bukan hanya segelintir elit yang mendapatkan akses, tetapi warga di sekitar tambang nikel, batubara yang menyuplai bahan pokok listrik diperhatikan kesejahteraannya, termasuk akses menggunakan energi transisi terbarukan," kata dia saat diwawancarai usai memberikan materi dalam festival Demokrasi Energi di Denpasar, Bali.

Pius mengatakan kepentingan elite pada usaha pembangkit listrik berbahan fosil mesti dihindari agar tidak terjadi konflik kepentingan untuk mempercepat perpindahan energi dari fosil kepada energi terbarukan.

Kebijakan listrik, contohnya adanya rencana umum pengadaan tenaga listrik (RUPTL) yang masih mengakomodasi pendirian PLTU baru, saat Indonesia hanya delapan tahun menuju puncak emisi tahun 2030.

“Akibatnya, persiapan transisi berkeadilan sulit terwujud, seperti persiapan alih lapangan kerja dari energi fosil, percepatan penyediaan energi terbarukan dalam cukup besar,” kata dia.

Sementara itu, Praktisi Energi Terbarukan Denpasar, Agung Kayon berharap komitmen pemerintah untuk mendukung percepatan energi terbarukan dalam forum G20 kali ini mesti dibarengi dengan komitmen dan konsistensi agar forum tersebut tidak menjadi acara seremonial yang hanya menghabiskan keuangan negara dan menyita perhatian publik sesaat saja.

"Acara yang mengangkat isu ini (energi terbarukan) kami sudah biasa. Hanya saja kita berharap ada komitmen, aksi, konsistensi, belajar dari sejarah masa lalu," kata dia.

Meskipun demikian, dia masih menaruh harapan besar pada posisi Indonesia dalam presidensi G20 di bawah kepemimpinan Jokowi dapat memberikan kontribusi apalagi forum G20 sangat strategis. Forum ini secara global menguasai 60 persen populasi dunia, 75 persen perdagangan dunia dan 80 persen produk domestik bruto (PDB).

"Kita realistis lah ya yang menyebabkan kerusakan lingkungan paling banyak adalah negara itu juga. Ini adalah momentum 'menagih janji' dari negara-negara itu," kata dia.

Selain menghasilkan dokumen kesepakatan, forum tersebut, kata dia, diharapkan berimbas pada kemauan politik kepala negara anggota G20 mengambil kebijakan strategis mencapai tahun 2025 transisi energi hijau.

I Nyoman Gede Wiryajaya, Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah III yang hadir dalam festival tersebut menyoroti Bali sebagai lokasi pertemuan G20 yang rentan terhadap krisis iklim yang terus meningkat.

“Bali, suhu udaranya mengalami tren yang terus meningkat, tren musim hujan yang meningkat, juga kemarau yang akan menjadi lebih panjang ke depan. Sehingga, bencana akan semakin banyak terjadi," kata dia.

Baca juga: Anggota DPR katakan RUU EBT merupakan wujud demokrasi lingkungan

Baca juga: Pengamat: Jadikan krisis BBM momentum untuk migrasi ke EBT

Baca juga: Pemerintah proyeksi perlu investasi 1.100 miliar dolar capai NZE 2060

Pewarta: Rolandus Nampu
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2022