Magelang (ANTARA) - Pemerintah menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional setelah Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco) mengesahkan salah satu produk kebudayaan bangsa ini, sebagai warisan budaya tak benda.

Hingga saat ini, setiap 2 Oktober diselenggarakan perayaan Hari Batik Nasional dengan berbagai cara. Perayaan dilakukan berbagai lapisan masyarakat Indonesia, tak terkecuali jajaran aparatur pemerintahan dan swasta.

Seperti diketahui, Unesco pada tanggal 2 Oktober 2009 mengukuhkan batik Indonesia sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan tak benda. Batik Indonesia, antara lain melingkupi hal-ikhwal tentang tradisi dan ekspresi lisan, kebiasaan sosial dan adat istiadat masyarakat, serta kemahiran kerajinan tradisional para pewarisnya dari zaman ke zaman.

Catatan dari penelusuran tentang batik disebutkan bahwa batik berasal dari masa Kerajaan Majapahit (1293-1527). Batik yang pada awalnya bagian dari kekayaan tradisi budaya keraton, kemudian mengalami perkembangan dan menyebar ke segala kalangan masyarakat, hingga melahirkan inspirasi tentang macam-macam wahana dan ragam motifnya pada zaman sekarang.

Bahkan, setelah penetapan Hari Batik Nasional, mulai 2 Oktober 2019, setiap daerah seakan berlomba-lomba mengembangkan motif batik sebagai identitas khas daerah. Para perajin dan seniman batik mengembangkan kreasi, inovasi, dan terobosan menjadi beragam karya dengan inspirasi batik.

Motif batik tak lagi tertoreh pada kain sebagaimana catatan historis awal jagat perbatikan Indonesia. Kemampuan kreatif warga, mendorong lahirnya motif-motif batik untuk berbagai wahana, seperti badan pesawat, tembok bangunan, ruang publik, sampul buku, lukisan kanvas, karya tembang dan sastra, suvenir, serta atraksi wisata.

Begitu pula dengan teknik membatik yang semula menggunakan canting dan malam di lembaran kain sebagai batik tulis, berkembang menjadi batik cap, lukisan batik dengan kuas, ukiran batik, dan animasi batik dalam dunia digital.

Bahan-bahan pewarnaan pun berkembang, termasuk melewati kecenderungan kembali dari warna sintetis ke penggunaan warna alam, sebagaimana dijalani seorang seniman batik dan salah satu pengelola "Krandan Ciblon Papringan" di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Agus Daryanto.

Melalui uji cobanya bertahun-tahun menggunakan macam-macam bahan, seperti dedaunan, buah-buahan, dan empon-empon, dia menghasilkan karya seni batik dan mengajarkan anak-anak sekolah, wisatawan, serta para pemanfaat tempat wisata desa itu melalui lokakarya batik warna alam.

Kekuatan diplomasi

Batik juga menjadi kekuatan diplomasi Indonesia di dunia internasional. Dalam rangkaian agenda pertemuan G20 kebudayaan, para delegasi diajak ke Taman Buah Karangrejo di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (14/9), untuk merasakan membatik.

Praktik membatik yang mereka jalani dinilai penting oleh Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Restu Gunawan, supaya mereka memahami dan menghargai batik dengan lebih baik.

Proses membatik, bukan sekadar keterampilan tangan yang mumpuni para perajin batik Indonesia saat ini. Akan tetapi, juga menyangkut perjalanan pewarisan budaya dari nenek moyang bangsa dari generasi ke generasi, atas nilai-nilai luhur terkait dengan ketelitian, kesabaran, dan kedalaman filosofi batik.

Seorang mahasiswa antropologi Universitas Sophia Tokyo, Jepang, Yuga Orita (22), terpantik hendak membawa pulang oleh-oleh buku tulis bersampul motif batik. Belum lama ini, ia tinggal di Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, selama dua minggu untuk keperluan risetnya. Ketika hendak memfotokopi surat-surat keperluannya di salah satu toko di perempatan jalan Secang, ia melihat buku notes batik terpajang di tempat tersebut.

Buku notes motif batik hampir mudah dijumpai di berbagai toko buku dan tempat-tempat fotokopi yang sekaligus menjual peralatan tulis di berbagai kota dan desa.

Mungkin kebanyakan orang Indonesia tak menyadari betapa notes batik memikat orang mancanegara. Yuga membeli beberapa eksemplar buku bersampul motif batik untuk buah tangan lawatannya ke Yogyakarta dan Jawa Tengah, belum lama ini. Untuk lebih afdal, ia pun membeli kenang-kenangan baju batik.

Tak cukup mendapatkan buku batik itu secara fisik dari sejumlah toko, ia menelusuri dunia internet untuk mengetahui motif batik di buku notes. Yuga menemukan motif batik di buku yang sudah di tangannya itu sebagai batik parang. Batik parang disebut sebagai motif dasar tertua dari batik.

Motif batik parang, antara lain menggambarkan ketangguhan bangsa Indonesia, dunia kemaritiman, dan tautan filosofi kekeluargaan bangsa ini. Yuga pun seakan menjadi beroleh literasi atas makna di balik motif batik Indonesia.

Batik telah membuktikan diri sebagai warisan kebudayaan secara berkelanjutan bangsa ini. Ia bukan sekadar bukti upaya terus-menerus setiap generasi bangsa melestarikan warisan budayanya, tetapi juga mengkreaasi sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman.

Tentu saja, keberadaan museum batik di sejumlah kota juga berperan penting untuk jalan pelestarian batik. Berbagai agenda acara dengan cita rasa batik dan program-program diplomasi budaya untuk mempromosikan batik dengan perkembangannya, akan memperkuat kebanggaan bangsa dan mengantar batik Indonesia menjadi milik masyarakat global, memperagam pemanfaatan, serta tentu saja memperkuat pasar produksi.

Batik Indonesia telah menghadirkan wajah jejak kebudayaan bangsa ini yang mampu melewati titian jalannya dari zaman ke zaman.

Wajah Indonesia dengan jalan batiknya, kiranya menjadi salah satu bukti pernyataan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid pada suatu rangkaian pertemuan G20 bidang kebudayaan di Indonesia.

Dunia batik Indonesia membuktikan ketangguhan dan keuletan bangsa ini melakukan terobosan dan inovasi perjalanan kehidupan bersama. Batik telah menggambarkan konsep hidup berkelanjutan yang bersumber dari kekayaan kebudayaan Nusantara.

Setiap warga bangsa ini, kiranya boleh menautkan kebanggaan dan optimismenya, bahwa wajah keluhuran Indonesia tertoreh secara berkelanjutan melalui jagat batik.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022