Ramallah/Tel Aviv (ANTARA News) - Pasukan keamanan Israel akhirnya membebaskan Menteri Palestina Urusan Yerusalem, Khaled Abu Arafeh, Kamis sore waktu setempat, setelah menahannya selama beberapa jam ketika ia berusaha melewati sebuah rintangan jalan dalam perjalanan ke Tepi Barat Sungai Jordan.Seorang juru bicara angkatan darat di Tel Aviv mengatakan, Arafeh ditangkap ketika ia berusaha melewati pos pemeriksaan di luar Yerusalem, karena membawa kartu identitas Israel, dan namanya muncul di daftar orang di komputer yang dilarang bepergian ke Tepi Barat. Abu Arafeh adalah seorang anggota gerakan Hamas, kelompok garis keras yang kini memimpin Pemerintah Palestina, setelah menang dalam pemilihan umum parlemen pada 25 Januari 2006. Israel, yang menganggap kelompok itu sebagai sebuah organisasi teroris, telah memperingatkan bahwa mereka akan menangkap setiap anggota Hamas, termasuk menteri dan anggota parlemen, yang melewati rintangan-rintangan jalan yang dipasangnya.Kemenangan Hamas dalam pemilihan umum juga membuat para pejabat Israel mengumumkan pembekuan kontak dengan Pemerintah Palestina, namun harian Haaretz melaporkan, Israel sedang mempertimbangkan pembentukan sejumlah "kontak terbatas" dengan pemerintah baru Palestina untuk menghindari krisis kemanusiaan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Penjabat Perdana Menteri (PM) Israel, Ehud Olmert, menjadwalkan sebuah pembahasan khusus pekan depan mengenai bagaimana melanjutkan hubungan Israel dengan Pemerintah Palestina, karena pemerintah Hamas, yang dilantik pekan lalu, kini berkuasa.Serangkaian langkah yang bertujuan memperlemah pemerintah baru Palestina juga akan dibahas pada pertemuan itu, kata Haaretz.Pada pertemuan pertama kabinet baru Palestina, Rabu, Perdana Menteri (PM) Ismail Haniya memperingatkan krisis keuangan di Pemerintah Palestina dengan mengatakan, ia mewarisi kas kosong dan tidak akan mampu membayar gaji sekitar 140.000 anggota pasukan keamanan, kecuali jika bantuan keuangan tiba. Masyarakat internasional menuntut, agar Hamas mengakui Israel dan meninggalkan kekerasan sebagai syarat bagi bantuan keuangan yang berlanjut. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006