menjajaki pembentukan BUMD Agro untuk memutus monopoli harga dan menampung hasil gambir masyarakat dengan sistem resi gudang.
Padang (ANTARA) - Menjalani profesi sebagai petani gambir menjadikan Rusli, warga Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, serasa menaiki roller coaster.
Komoditas dengan nama Latin uncaria itu selama ini memang telah menghidupi Rusli dan keluarganya. Namun, harga gambir mirip wahana permainan roller coaster yang turun-naik.
Jika sedang tinggi, harga gambir bisa menembus Rp100 ribu per kilogram, namun saat harga jatuh bisa terjun bebas menjadi Rp13 ribu per kilogram.
Ketika harga turun, Rusli bersama petani lain tetap memproduksi gambir meskipun harus rela untuk rugi dengan alasan tidak ada pilihan.
Gambir merupakan tanaman perdu yang memiliki banyak manfaat kesehatan sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Dari proses ekstrak (getah) daun dan ranting, cairan yang dihasilkan mengandung metabolit sekunder berupa katekin, asam katechu tannat (tanin), pyrocatecol, florisin, lilin, dan fixed oil.
Di Malaysia dan beberapa daerah di Indonesia, ekstrak gambir digunakan sebagai obat diare dan obat kumur bagi penderita sakit kerongkongan.
Dalam industri farmasi, ekstrak tanaman gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit gigi, penyembuhan gangguan pembuluh darah, perangsang sistem saraf otonom, obat tukak lambung, antimikroba, bahan toksisitas terhadap organ hati, ginjal, dan jantung.
Selain sebagai obat-obatan, tanaman gambir juga digunakan sebagai bahan baku dalam industri tekstil, yakni sebagai bahan pewarna yang tahan terhadap cahaya Matahari.
Untuk bahan kerajinan, tanin dimanfaatkan sebagai penyamak kulit, dijadikan tas, ikat pinggang, dan dompet berkualitas tinggi.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Asosiasi Komoditas Gambir Indonesia, dalam sebulan, Sumbar bisa menghasilkan 1.000 hingga 1.200 ton gambir, dengan rincian 70 persen berasal dari Kabupaten Limapuluh Kota dan 30 persen dari Kabupaten Pesisir Selatan yang diekspor ke India.
Adapun mengacu data yang dihimpun BPS, total luas lahan gambir di Sumatera Barat hingga tahun 2020 mencapai 28.016 hektare.
Empat tahun lalu, Rusli dan petani lainnya bisa tersenyum lebar karena harga gambir sedang tinggi, namun setelah itu harga gambir menggelambir alias anjlok sehingga petani sempat kehilangan gairah akibat pendapatan mereka turun tajam.
Memperbaiki harga
Sejumlah upaya dilakukan oleh pemangku kepentingan terkait di Sumatera Barat agar harga gambir kembali naik sehingga petani bisa menjadi lebih sejahtera.
Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi saat berkunjung ke sentra gambir di Nagari Galugua, Kecamatan Kapur IX Kabupaten Limapuluh Kota, menyebut gambir yang merupakan salah satu primadona provinsi itu, harga idealnya sekitar Rp45 ribu per kilogram di tingkat petani.
Pihaknya sudah berulang kali melakukan survei untuk untuk menentukan harga yang menarik agar petani tidak hanya letih di ladang dan di sisi sama pedagang juga tetap bisa untung.
Gambir merupakan salah satu produk unggulan Sumbar, namun hingga saat ini belum sepenuhnya bisa menyejahterakan petani.
Salah satu persoalan adalah harga yang fluktuatif dan cenderung rendah hanya Rp28 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram.
Dari hasil penelusurannya, petani meramu produk gambir dengan bahan lain, seperti pupuk, sehingga menyebabkan kemurnian gambir menurun dan harganya juga rendah.
Persoalan gambir sebenarnya sudah terjadi sejak 2008 dan kala itu banyak pihak yang turun tangan mencoba mencarikan solusi, namun belum didapatkan formula terbaik untuk memperbaiki harga gambir.
Gubernur mengusulkan, salah satu solusi untuk meningkatkan harga gambir, antara lain, melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Niaga Komoditas Unggulan.
Perda tentang Tata Niaga Komoditas Unggulan yang diinisiasi oleh DPRD Sumbar sejalan dengan tujuan pemerintah untuk memberikan kepastian harga agar kesejahteraan petani gambir bisa meningkat.
Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy menilai anjloknya harga gambir akibat selama ini ditentukan oleh pedagang, sementara posisi tawar petani rendah sehingga hanya bisa menerima harga yang ditentukan pembeli.
Akibatnya petani cenderung dirugikan karena harga sering kali sangat rendah. Oleh sebab itu pihaknya juga menjajaki pembentukan BUMD Agro untuk memutus monopoli harga dan menampung hasil gambir masyarakat dengan sistem resi gudang.
Dengan demikian pedagang hanya akan berhubungan dengan BUMD Agro, tidak lagi langsung masuk ke kebun gambir milik rakyat.
Tanaman masa depan
Guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas (Unand) Padang Prof. Anwar Kasim menilai gambir yang selama ini sedikit sekali dimanfaatkan di dalam negeri berpeluang menjadi bahan baku industri di masa depan.
Indonesia dikenal sebagai pemasok gambir utama dunia. Tanaman gambir juga sudah lama dibudidayakan dengan produk utama berupa ekstrak air dari daun dan ranting yang kemudian diekspor. Hasil olahan ini sebenarnya dapat digunakan sebagai bahan baku industri dalam negeri.
Gambir memiliki komponen kimia utama katekin dan tanin. Katekin memiliki manfaat pada bidang farmasi dan kosmetik, sedangkan tanin 90 persen diproduksi dunia untuk menyamak kulit.
Sebagai penghasil ekstrak gambir, selama ini Indonesia lebih banyak mengekspor komoditas tersebut, 84 persen di antaranya dikirim ke India.
Di India gambir digunakan sebagai penyegar mulut, campuran pada sirih, dan pewarna tekstil.
Berdasarkan penelitian, gambir juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri dalam negeri seperti bahan baku perekat, bahan penyamak kulit, hingga zat pewarna.
Gambir bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat papan partikel karena ada komponen kimia penyusun gambir yang sesuai untuk keperluan tersebut.
Dalam gambir terdapat tanin dan di beberapa negara tanin telah digunakan sebagai bahan baku perekat.
Gambir juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan perekat kayu lapis dan telah mematenkan perekat kayu lapis dari gambir. Perekat dari gambir lebih alami dan ramah lingkungan dan dapat terus diperbarui.
Kemudian, gambir juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyamak kulit yang diambil dari tanin yang terkandung dalam gambir.
Indonesia sampai saat ini mengimpor bahan penyamak kulit padahal sebenarnya bahan tersebut dapat disubstitusi dengan gambir.
Pada sisi lain, gambir sudah lama dibudidayakan di Sumbar dan menjadi sumber kehidupan petani. Namun permasalahan yang dihadapi adalah harganya fluktuatif karena harga komoditas tersebut didikte pembeli termasuk oleh importir.
Bila petani bisa membuka pasar dalam negeri lebih besar lagi maka posisi tawar mereka lebih kuat sehingga petani bisa mendapatkan harga terbaik.
Pemprov Sumbar sudah memberi dukungan nyata dengan menerbitkan Perda tentang Tata Niaga Komoditas Unggulan. Langkah selanjutnya, pemerintah daerah bisa memberikan insentif bagi industri yang menggunakan gambir beserta turunannya sebagai bahan baku produk.
Bila kebijakan tersebut dijalankan, gambir tidak lagi menjadi tanaman masa lalu, namun merupakan bahan baku penting bagi industri di masa depan. ***1***
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022