New York (ANTARA) - Euro dan sterling anjlok ke posisi terendah baru 20 tahun dan 37 tahun terhadap dolar AS yang melonjak pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), setelah survei menunjukkan penurunan aktivitas bisnis di seluruh zona euro dan Inggris, mempercepat kemungkinan ekonomi memasuki resesi.

Juga membebani sterling, menteri keuangan baru Inggris Kwasi Kwarteng mengumumkan pemotongan pajak dan langkah-langkah dukungan bagi rumah tangga dan perusahaan, serta kantor utang Inggris menyusun rencana penerbitan tambahan 72 miliar pound (79,74 miliar dolar AS) untuk tahun keuangan ini buat mendanai stimulus.

Sterling membukukan penurunan mingguan terbesarnya terhadap dolar AS dalam dua tahun setelah menyentuh level terendah baru 37 tahun di 1,0840 dolar. Pound adalah pecundang terbesar hari ini terhadap dolar, jatuh 3,4 persen pada 1,0874 dolar, dan juga memiliki persentase kerugian harian terbesar dalam dua tahun.

Imbal hasil obligasi Inggris juga melonjak pada Rabu (22/9) karena harga-harganya merosot. Imbal hasil acuan obligasi pemerintah Inggris 10-tahun Inggris terangkat menjadi 3,829 persen, level yang tidak terlihat sejak April 2011.

"Pasar memberikan sinyal yang sangat kuat bahwa ia tidak lagi bersedia mendanai posisi defisit eksternal Inggris pada konfigurasi imbal hasil riil dan nilai tukar Inggris saat ini," tulis George Saravelos, kepala penelitian valas global di Deutsche Bank dalam catatan penelitian.

"Respons kebijakan yang diperlukan untuk apa yang sedang terjadi jelas: kenaikan suku bunga besar antar-pertemuan dari bank sentral Inggris (BOE) segera minggu depan untuk mendapatkan kembali kredibilitas bersama pasar. Dan, sinyal kuat bahwa ia bersedia melakukan 'apa pun yang diperlukan untuk menurunkan inflasi dengan cepat dan hasil nyata ke wilayah positif," tambahnya.

Di awal sesi, angka Indeks Pembelian Manajer (PMI) Inggris menunjukkan penurunan ekonomi Inggris memburuk bulan ini karena perusahaan-perusahaan berjuang melawan melonjaknya biaya dan permintaan yang goyah.

Bergerak sejalan dengan pound, euro merosot 1,5 persen menjadi 0,9689 dolar, setelah sebelumnya mencapai level terendah sejak Oktober 2002 di 0,9669 dolar. Mata uang bersama Eropa memiliki kinerja mingguan terburuk sejak Maret 2020.

Penurunan dipicu sebagian oleh data yang menunjukkan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Komposit zona euro dari S&P Global, yang dilihat sebagai ukuran yang baik untuk kesehatan ekonomi secara keseluruhan, tergelincir lebih lanjut pada September.

Penurunan aktivitas bisnis Jerman semakin dalam, karena biaya energi yang lebih tinggi menghantam ekonomi terbesar Eropa itu dan perusahaan-perusahaan melihat penurunan bisnis baru.

Yen melemah 0,6 persen pada 143,30 per dolar, tetapi mengalami kenaikan mingguan pertama sebesar 0,3 persen dalam lebih dari sebulan setelah otoritas Jepang melakukan intervensi di pasar pada Kamis (22/9) untuk mendukung mata uangnya untuk pertama kalinya sejak 1998.

Yen menguat lebih dari 1,0 persen pada Kamis (22/9/2022) di tengah berita bahwa Jepang telah membeli yen untuk mempertahankan mata uang yang babak belur. Perdagangan tipis pada Jumat (23/9/2022) karena pasar Jepang ditutup untuk hari libur umum.

Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap sekeranjang mata uang termasuk euro, sterling dan yen, melonjak ke 113,23, tertinggi sejak Mei 2002 dan melampaui tertinggi dua dekade yang dicapai awal pekan ini. Indeks terakhir naik 1,6 persen pada 112,96, membukukan kenaikan persentase mingguan terbesar sejak Maret 2020.

"Dolar memang tempat yang aman tidak seperti waktu lain dalam beberapa dekade terakhir, karena perang dan dampaknya tidak mempengaruhi target domestik AS," kata Juan Perez, direktur perdagangan di Monex USA di Washington.

Bank sentral Inggris menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada Kamis (22/9) dalam upaya untuk mengatasi inflasi tetapi, seperti kenaikan suku bunga sebelumnya dalam beberapa bulan terakhir, langkah tersebut gagal untuk mendukung pound karena dibayangi oleh kekhawatiran tentang ekonomi.

Dolar menerima dorongan minggu ini dari pengumuman kebijakan Federal Reserve yang sangat hawkish dan kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah.

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2022