Kiev (ANTARA) - Empat provinsi di Ukraina yang dikendalikan Rusia dan pasukan pro-Moskow bersiap menggelar referendum pada Jumat untuk bergabung dengan Rusia.
Para pemimpin yang ditunjuk oleh Rusia di wilayah itu pada Selasa (20/9) mengumumkan rencana pemungutan suara, langkah yang dianggap Barat dapat memicu eskalasi perang.
Hasil referendum itu dipandang sebagai bukti bahwa keempat provinsi tersebut mendukung aneksasi, sementara Ukraina dan sekutunya telah menegaskan mereka tidak akan mengakui hasilnya.
Pemungutan suara di provinsi Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia, yang menempati sekitar 15 persen wilayah Ukraina, akan berlangsung mulai Jumat hingga Selasa.
Ukraina bulan ini melancarkan serangan balasan untuk merebut kembali sebagian besar wilayahnya, tujuh bulan setelah Rusia menginvasi negara itu.
Perang Ukraina-Rusia telah menewaskan ribuan orang, mengusir jutaan orang lainnya, dan merusak ekonomi global.
Referendum tersebut telah dibahas berbulan-bulan oleh para pejabat pro-Rusia, tetapi kemenangan pasukan Ukraina baru-baru ini mengganggu mereka untuk menjadwalkan pelaksanaannya.
Presiden Rusia Vladimir Putin pekan ini juga mengumumkan rencana untuk mengerahkan 300.000 tentara tambahan ke Ukraina. Moskow tampaknya berusaha memenangi kembali konflik tersebut.
Rusia berdalih bahwa saat ini adalah kesempatan bagi para warga di sejumlah wilayah di Ukraina untuk menyampaikan pandangan mereka.
"Sejak awal operasi… kami katakan bahwa orang-orang di wilayah-wilayah itu harus memutuskan nasib mereka, dan seluruh situasi saat ini memastikan bahwa mereka ingin menentukan nasib mereka sendiri," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pekan ini.
Ukraina mengatakan Rusia berniat menggunakan hasil referendum sebagai simbol dukungan mayoritas dan sebagai dalih untuk menganeksasi, mirip dengan pencaplokan Krimea pada 2014 yang tidak diakui dunia internasional.
Dengan menggabungkan empat provinsi itu ke dalam Rusia, Moskow dapat menguatkan alasan bahwa eskalasi militer diperlukan agar dapat mempertahankan wilayahnya.
Putin pada Rabu (21/9) mengatakan Rusia akan "menggunakan semua cara yang kami miliki" untuk membela diri, sebuah pernyataan yang dianggap mengindikasikan penggunaan senjata nuklir.
"Ini bukan gertak sambal," kata dia.
"Pelanggaran batas ke wilayah Rusia adalah kejahatan yang memungkinkan kita menggunakan semua kekuatan untuk mempertahankan diri," kata Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia (2008-2012), dalam unggahannya di Telegram.
Hasil referendum yang memilih Rusia sepertinya tidak terhindarkan. Pemungutan suara di Krimea pada 2014, yang dituding penuh kecurangan oleh dunia internasional, menunjukkan 97 persen suara mendukung aneksasi Rusia.
"Jika semua (provinsi itu) dinyatakan sebagai wilayah Rusia, mereka dapat menyatakan bahwa (perang) ini adalah serangan langsung terhadap Rusia sehingga mereka dapat bertempur tanpa syarat," kata Serhiy Gaidai, Gubernur Luhansk, kepada TV Ukraina.
Referendum tersebut telah dikecam oleh para pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Kecaman juga datang dari NATO, Uni Eropa, serta Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE).
"Referendum palsu" tersebut "liar dan tidak sah", kata NATO, Kamis.
OSCE, yang memantau pemilihan-pemilihan umum, mengatakan hasil referendum tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak sesuai dengan undang-undang Ukraina atau standar internasional, dan wilayah-wilayah tersebut tidak aman.
Tidak akan ada pemantau independen dan selama perang sebagian besar populasi telah mengungsi.
Rusia sudah menganggap Luhansk dan Donetsk sebagai negara-negara merdeka.
Kedua provinsi yang menempati wilayah yang disebut Donbas itu sebagian dicaplok Moskow pada 2014.
Ukraina dan Barat menilai semua wilayah Ukraina yang dikuasai pasukan Rusia direbut secara tidak sah.
Rusia tidak sepenuhnya mengendalikan empat provinsi itu dan hanya sekitar 60 persen wilayah Donetsk kini berada di tangan Rusia.
Ukraina telah mengatakan bahwa referendum tersebut membuktikan bahwa Rusia sedang ketakutan.
"Setiap keputusan yang diambil Rusia tidak berpengaruh apa pun bagi Ukraina," kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Kamis (22/9).
"Yang menjadi kepentingan kami adalah tugas-tugas yang kami hadapi. Ini adalah pembebasan negara kami, membela rakyat kami dan memobilisasi dukungan dunia (opini publik) untuk melaksanakan tugas-tugas itu," katanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: PM Jepang: Invasi Rusia ke Ukraina "injak-injak" Piagam PBB
Baca juga: Putin rayakan Hari Persatuan Rusia di Krimea, Ukraina protes
Menhan Rusia instruksikan tentara intensifkan aksi ke segala arah
Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2022