Jakarta (ANTARA) - Regulator dinilai memiliki sejumlah opsi langkah terhadap lini asuransi kredit yang performanya mengalami tekanan dalam beberapa tahun terakhir.


Direktur Teknik Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re, Delil Khairat mengatakan dirinya menjadi bagian dari tim Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang dipimpin Ketua Umum H.M.S Widodo yang diundang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan pandangan mengenai kondisi lini asuransi kredit di Tanah Air.


Dalam diskusi tersebut, jelasnya, para pegiat di industri memberikan rekomendasi yang memberikan dua pilihan langkah utama terhadap lini bisnis tersebut.


“Kami sampaikan OJK bisa mengambil dua keputusan besar. Pertama, apakah menghentikan proteksi asuransi kredit oleh asuransi umum,” ungkapnya, Rabu (14/9/2022).


Delil menjelaskan praktik asuransi kredit di Indonesia cukup unik dibandingkan banyak negara lain. Salah satunya lantaran asuransi umum diberi izin untuk memproteksi asuransi kredit.


Di banyak negara lain, jelasnya, asuransi kredit hanya dilayani oleh perusahaan asuransi khusus yang masih menjadi bagian dari perusahaan milik negara atau BUMN seperti PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo).


“Indonesia agak unik. Indonesia jadi satu dari sangat sedikit negara yang regulatornya memberi izin kepada industri asuransi umum untuk memproteksi asuransi kredit,” jelasnya.


Selain itu, Delil menjelaskan bahwa di Indonesia saat ini asuransi umum bisa memproteksi semua kredit baik bersifat produktif maupun konsumtif.


Terbukti, jelas dia, fundamental asuransi umum tidak terlalu kuat untuk memproteksi risiko kredit tersebut.


“Sehingga loss ratio-nya berlipat dan mencapai ratusan persen. Sangat tidak sustainable, bisa membuat perusahaan asuransi bangkrut dan RBC [risk based capital] tertekan, di bawah ketentuan minimum, 120%.”


Lebih lanjut, Delil menjelaskan opsi kedua yang bisa diambil OJK terhadap lini asuransi kredit adalah pemberian batasan kepada asuransi umum dalam memproteksi asuransi kredit. Menurutnya, pengetatan syarat layanan asuransi kredit oleh asuransi umum bisa dilakukan dalam sejumlah aspek.


Salah satunya adalah risk sharing. Artinya, asuransi umum tidak dimungkinkan untuk memproteksi asuransi risiko kredit hingga 100%.


“Jangan 100% risiko kredit diambil asuransi. Misalnya, 30%-50% tetap ditahan bank,” jelasnya.


Pembatasan lain adalah risiko kematian debitur tidak boleh diproteksi oleh asuransi umum. Risiko tersebut, jelasnya, hanya boleh diproteksi oleh asuransi jiwa.


Di samping itu, kata Delil, periode pertanggungan asuransi kredit yang diproteksi oleh asuransi umum dibatasi. Asuransi umum dinilai tidak bisa untuk memproteksi asuransi kredit dengan tenor pinjaman jangka panjang.


“Kalau bisa dibuat secara tahunan saja. Meski tenor kredit bertahun-tahun, tetapi proteksi asuransi dan reasuransinya dibuat setahun saja agar lebih mudah dimonitor. Pembatasan lain juga terkait dengan pencadangan sebab pencadangan asuransi kredit berbeda dengan lini non-kredit,” ungkapnya.


Delil pun mengapresiasi OJK yang telah meminta pandangan industri untuk mengatasi problem yang dialami lini asuransi kredit. Dengan perhatian dari regulator dan pelaku industri asuransi, dia berharap ke depan lini asuransi kredit bisa membaik.


“Kami sangat merasakan, OJK sangat memperhatikan situasi dan kami tentu berusaha sebaik mungkin, memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada OJK mengenai situasi terkini dari asuransi kredit.”


Seperti diketahui, dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di tengah pandemi, lini asuransi kredit mengalami lonjakan klaim. Kendati menurun pada 2021, realisasi klaim lini bisnis ini kembali meninggi pada 2022.


Berdasarkan data AAUI, klaim asuransi kredit sepanjang 2021 mencapai Rp7,63 triliun atau turun 28,8 persen dibandingkan 2020 yang mencapai Rp10,72 triliun.


Pada saat yang sama, premi dicatat dari lini bisnis asuransi kredit sepanjang 2021 mengalami penurunan sebesar 16,7 persen, yakni menjadi Rp13,68 triliun dari sebelumnya mencapai Rp16,44 triliun pada 2020.


Sementara pada triwulan pertama 2022, AAUI melaporkan klaim asuransi kredit meningkat 47,7% dan mencapai Rp1,92 triliun.


Adapun, OJK mencatat hingga Juli 2022, klaim asuransi kredit mencapai Rp5,68 triliun atau setara 27,38% dari total nilai klaim sektor asuransi umum. Bahkan, asuransi kredit menjadi lini bisnis dengan kenaikan klaim terbesar yakni hingga 80,57% secara tahunan.


Dalam konferensi pers pekan lalu, Selasa (13/9/2022). Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono mengingatkan bahwa kenaikan tersebut perlu diwaspadai. Namun, dia mengaku belum mendalami secara khusus terkait kondisi tersebut.


“Tapi kalau trennya naik, itu berarti sudah warning berarti kita harus hati-hati,” ujar Ogi.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2022