Jakarta (ANTARA) - Setelah kehilangan sebagian wilayah yang didudukinya di Donbas, Ukraina timur, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi parsial untuk kelangsungan "operasi khusus"-nya di Ukraina.

Ini adalah mobilisasi militer pertama Rusia sejak Perang Dunia Kedua setelah mengalami kemunduran besar di palagan Ukraina.

Upaya ini dianggap sebagai langkah mengubah konflik Rusia melawan Ukraina, menjadi konflik besar Rusia melawan Barat.

Ini karena Putin beralasan perubahan arah perang yang membuat Rusia menjadi lebih defensif terjadi karena Ukraina mendapatkan bantuan militer besar-besar dari Barat pimpinan Amerika Seikat.

Rusia berharap paling sedikit mendapatkan tambahan 300.000 tentara dari program mobilisasi parsial itu.

Mobilisasi parsial berbeda dari mobilisasi umum yang bisa membuat Rusia menghimpun kekuatan sampai 25 juta tentara.

Mobilisasi membuat setiap warga negara berusia antara 18 sampai 60 tahun terkena wajib militer.

Barat menganggap langkah ini menegaskan bahwa Rusia kewalahan menghadapi perlawanan Ukraina yang sudah merenggut jatuh korban yang banyak dari pihak Rusia.

Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu sendiri mengungkapkan 5.937 tentaranya tewas di Ukraina, namun data lain menyebut angka 6.219 tentara tewas. AS bahkan menaksir 80.000 tentara Rusia tewas atau terluka sejak invasi Februari silam.

Rusia tengah mengalami kesulitan merekrut personel perang sehingga tidak bisa melakukan penyegaran pasukan di medan perang, sampai membuka pendaftaran sukarelawan yang bahkan termasuk merekrut narapidana.

Akan tetapi formula ini tak berhasil membalikkan peruntungan perang.

Mobilisasi sendiri sudah lama dimintakan oleh kaum nasionalis Rusia yang menginginkan pengerahan kekuatan skala penuh dalam rangka memenangkan perang di Ukraina.

Ukraina sendiri sudah melancarkan program mobilisasinya sendiri yang sangat wajar bagi negara dalam posisi diserang dan diduduki negara lain.

Setelah invasi Rusia pada 24 Februari, Ukraina memberlakukan darurat perang yang melarang penduduk berusia 18 sampai 60 tahun meninggalkan Ukraina. Kini Ukraina disebut-sebut memiliki personel perang paling tidak 400 ribu serdadu.

Mengenai mobilisasi militer Rusia, awalnya langkah ini sangat dihindari oleh Putin. Bahkan, pada 13 September atau 18 hari sebelum Putin mengumumkan mobilisasi parsial, Juru Bicara Kepresidenan Rusia Dmitry Peskov menyatakan mobilisasi "tidak masuk agenda."

Pernyataan Peskov ini diutarakan setelah sejumlah tokoh garis keras Rusia, termasuk termasuk anggota parlemen Mikhail Sheremet, meminta Putin mendeklarasikan mobilisasi massal agar tujuan-tujuan "operasi khusus" di Ukraina tercapai.

akan tetapi langkah ini dinilai berisiko dan tidak populer, apalagi sejak awal Putin mengharamkan serbuannya di Ukraina disebut sebagai perang, melainkan hanya sebagai "operasi khusus".


Umpan peluru

Akan tetapi lewat dekrit mobilisasi parsial, rakyat Rusia kini merasakan perang memang tengah terjadi.

Mereka makin khawatir karena dekrit itu disebut-sebut memuat klausul rahasia yang bisa menjadi pintu untuk memanggil siapa pun untuk pergi ke medan perang Ukraina.

Situasi ini membuat sebagian rakyat Rusia turun ke jalan memprotes dekrit mobilisasi itu.

Menurut kelompok hak asasi manusia Rusia, OVD-Info, lebih dari seribu orang di 30 kota termasuk Moskow dan St. Petersburg ditahan karena menentang mobilisasi parsial.

Rangkaian unjuk rasa pecah dan disebut-sebut terbesar setelah demonstrasi menentang perang usai Putin mengumumkan intervensi militer ke Ukraina pada 24 Februari.

Dekrit itu juga mendorong ribuan penduduk Rusia usia wajib militer keluar dari negerinya untuk menghindari dikirim ke medan perang Ukraina.

"Saya tak mau dijadikan umpan peluru," kata seorang pria warga kota Moskow berusia 30 tahun kepada laman The Moscow Times.

Pria ini tak menyebutkan namanya karena menghindari penangkapan, mengingat setiap sikap antiperang, apalagi demonstrasi antiperang, akan dijebloskan ke dalam penjara.

Perintah mobilisasi parsial itu mendorong ribuan orang bergegas membeli tiket pesawat demi segera meninggalkan Rusia.

Tujuan utama mereka adalah Armenia, Turki, dan Azerbaijan yang bertetangga dengan Rusia dan tak mewajibkan visa masuk.

Akibatnya harga tiket pesawat pun melonjak delapan kali lipat. Tiket ke Yereven, Ibu Kota Armenia, dihargai sampai 160 ribu rubel (Rp39 juta), sedangkan tiket ke Dubai dihargai 170 ribu rubel (Rp41 juta).

Padahal jarak Moskow ke Yerevan hampir sama dengan jarak Medan ke Semarang di Indonesia.

Ukraina menanggapi sinis langkah mobilisasi Rusia itu. Penasihat Keamanan Presiden Ukraina Mykhailo Podolyak menyebut langkah itu malah menguatkan anggapan bahwa Rusia telah salah mengkalkulasi perang Ukraina.

"Perang ini pasti tak berjalan sesuai dengan skenario Rusia dan untuk itu Putin mengambil keputusan yang sungguh tidak populer," kata Podolyak seperti dikutip Reuters.

Beberapa kalangan di dalam negeri Rusia sendiri melihat dekrit itu tidak realistis, terutama karena demografi Rusia yang rumit.

Pavel Luzin, pakar hubungan internasional berkebangsaan Rusia, mengungkapkan dampak mobilisasi akan seperti dihadapi ketika AS dalam Perang Vietnam 1955-1975.


Lebih brutal

Saat itu tentara-tentara hasil wajib militer yang kembali dari medan perang menjadi para aktivis antiperang yang paling keras di AS.

Mereka menjadi motor demonstrasi antiperang Vietnam di seluruh pelosok Amerika.

Menurut Pavel Luzin, situasi itu bisa terulang di Rusia, apalagi gejalanya sudah lama terjadi walau dalam skala kecil, mengingat pemerintah Rusia mengancam memenjarakan siapa pun yang menyampaikan pesan antiperang.

Namun demikian paguyuban ibu-ibu yang anaknya diterjunkan ke medan perang Ukraina mulai sering bertanya tentang nasib anak mereka.

Keadaan serupa pernah terjadi sewaktu perang Afganistan 3 dekade silam dan perang Chechnya yang pecah dua kali pada pertengahan serta akhir 1990-an.

Namun yang paling dikhawatirkan adalah berubahnya sikap kelas menengah yang menjadi mayoritas rakyat Rusia dan selama ini mendukung "operasi khusus".

Mereka dikhawatirkan sudah lelah oleh "operasi khusus" yang tak kunjung tuntas. Kini, dekrit mobilisasi parsial malah bisa membuat mereka terlibat langsung dalam perang.

Padahal, menurut sebuah survei yang digelar Rusia pada Agustus, kendati mayoritas warga Rusia mendukung perang di Ukraina, 62 persen penduduk tak siap dikirim ke medan tempur.

Kenyataannya ada upaya luas dari masyarakat Rusia untuk menghindari wajib militer.

Rezim Rusia sendiri disebut-sebut banyak mengandalkan pasukan dari daerah-daerah non Slavia, mulai wilayah Timur Jauh termasuk Republik Buryatia, sampai Trans Kaukasia termasuk Republik Dagestan.

Ada keyakinan yang tak terungkapkan selama ini bahwa Kremlin menghindari merekrut penduduk wilayah-wilayah makmur nan metropolitan seperti Moskow dan St Petersburg yang terkenal vokal terhadap rezim.

Kini mobilisasi parsial telah membuat penduduk di wilayah-wilayah ini tidak kebal dari keharusan terjun langsung di medan perang Ukraina.

Saat bersamaan, militer Ukraina menegaskan tak akan membedakan mana pasukan Rusia yang direkrut secara sukarela dan mana yang terpaksa berperang karena wajib militer.

Mereka akan disamaratakan oleh Ukraina sebagai agresor sehingga harus diperangi dengan sama sengit dan kerasnya.

Situasi ini bisa membuat kemungkinan semakin besarnya jatuh korban di pihak Rusia bakal mendorong gelombang protes antiperang di Rusia yang bisa makin besar seperti terjadi di AS saat Perang Vietnam dulu yang akhirnya memaksa AS mengakhiri petualangan militernya di Vietnam.

Namun bisa juga korban yang besar akan dieksploitasi oleh Putin sebagai alasan untuk melancarkan perang skala besar demi melindungi Rusia.

Untuk itu, tahap perang Ukraina kali ini bisa disebut sebagai episode perang yang bisa lebih membahayakan siapa pun, tidak hanya Ukraina dan Rusia.

Copyright © ANTARA 2022