Pontianak (ANTARA) - Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan bahwa rumah ibadah yang telah memenuhi syarat pendirian dari lembaga atau instansi terkait dapat berdiri atau dibangun.
"Kalau (syarat) sudah terpenuhi harus (berdiri), tapi kalau belum terpenuhi, jangan sampai mengaku ini sudah terpenuhi, ini mengaku belum. Nanti diverifikasi saja, diteliti saja, benar tidak sehingga tidak ada lagi yang menyebabkan konflik karena sudah tidak ada," kata Wapres Ma'ruf Amin di sela kunjungan kerjanya di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis.
Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah.
"Nah, dalam masalah pembuatan rumah ibadah itu sudah ada aturannya, yang diwujudkan dalam bentuk PBM, namanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Isinya sebenarnya merupakan kesepakatan majelis-majelis agama yang waktu itu karena ada konflik-konflik rumah ibadah," tambah Wapres.
Dengan adanya konflik-konflik untuk mendirikan rumah ibadah, menurut Wapres, maka dibuatlah peraturan yang isinya merupakan kesepakatan para majelis agama.
"Jadi, aturan mendirikan rumah ibadah sudah ada pedomannya dan bukan hanya peraturan menteri. Jiwanya adalah kesepakatan majelis-majelis agama, seperti majelis ulama, Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu), PGI, KWI itu majelis majelis agama, kemudian adanya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang ada di provinsi sehingga setiap ada konflik itu bisa diantisipasi," ungkap Wapres.
Oleh karena itu, kasus-kasus pendirian rumah ibadah di daerah seharusnya tidak terjadi apabila semua pihak mengikuti aturan yang berlaku.
"Kalau syarat sudah dipenuhi tidak ada alasan untuk menolak, tapi kalau syarat belum dipahami maka tidak boleh suatu agama memaksakan kehendaknya karena syaratnya belum dipenuhi dan semua sudah diatur dan semua sudah ada kesepakatan, jadi tidak ada masalah," jelas Wapres.
Salah satu polemik pendirian rumah ibadah adalah rencana pembangunan gereja di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha di lingkungan Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, yang mendapatkan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat hingga perangkat daerah Kota Cilegon.
HKBP Maranatha Cilegon sejatinya telah berdiri sejak 25 tahun lalu, namun sampai saat ini masih di bawah pelayanan HKBP Resort Serang. Keinginan mendirikan rumah ibadah di Cilegon itu karena jemaat di Gereja HKBP Kota Serang sudah tidak tertampung semua.
Panitia Pembangunan Rumah Ibadah HKBP Maranatha mengklaim telah mendapatkan validasi 112 jemaat dari total 3.903 jiwa atau 856 kepala keluarga yang tersebar pada delapan Kecamatan di Kota Cilegon.
Selain itu, meminta dukungan dari 70 warga yang berada di lingkungan Kelurahan Gerem dan juga telah mengajukan permohonan validasi domisili sejak 21 April 2022 kepada Lurah Gerem, Rahmadi. Namun, Lurah Gerem tidak berkenan memberikan validasi atau pengesahan 70 dukungan warga dengan alasan tidak jelas.
Wali Kota Cilegon Helldy Agustian mengatakan pembangunan gereja itu masih belum memenuhi syarat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 sehingga dirinya turut menandatangani penolakan pembangunan gereja tersebut pada 7 September 2022.
Helldy merinci persyaratan yang belum terpenuhi, yakni validasi dukungan masyarakat sekitar lokasi gereja, rekomendasi Kemenag Cilegon, dan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Hingga kini tidak ada satu pun tempat ibadah umat non-Islam berdiri di Cilegon. Data resmi negara tahun 2019 mencatat ada 382 masjid dan 287 mushala di Cilegon, tanpa ada satu pun gereja, pura, maupun vihara yang tercatat.
Padahal, jumlah warga non-Muslim di Kota Cilegon tidak sedikit, yaitu 6.740 orang warga Kristen, 1.743 warga Katolik, 215 warga Hindu, 215 warga Buddha, dan tujuh warga Konghucu.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2022