bumi tempat kita tinggal ini tidak selamanya mampu menampung peningkatan emisi karbon
Makassar (ANTARA) - Peneliti pada Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) Andi Ahmad Yani S.Sos, M.Si, MPA, M.Sc mengatakan, mahasiswa perlu terus didorong untuk berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim akibat peningkatan emisi karbon dioksida di atmosfer bumi.

Ahmad Yani yang juga Dosen FISIP Unhas di Makassar, Rabu (21/9) mengatakan mahasiswa sebagai generasi muda juga memainkan peran penting dengan melakukan tindakan nyata dan sederhana mengurangi produksi jejak karbon, misalnya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan terlibat dalam gerakan atau organisasi relawan yang bergerak pada penanaman pohon atau mangrove.

"Penting juga menyebarkan informasi dan kesadaran kepada teman dan keluarga untuk ikut terlibat meminimalkan produksi gas emisi dan karbon," katanya pada seminar bertema “Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Pajak Karbon dan Energi Terbarukan” yang digelar Yayasan Perspektif Baru bersama Konrad Adenauer Stiftung (KAS), dan FISIP Unhas.

Ia menjelaskan, Unhas sebagai kampus terlibat dalam penyusunan dokumen perencanaan rendah karbon Pemprov Sulawesi Selatan. Unhas juga mendirikan Pusat Studi Perubahan Iklim untuk melakukan riset pengembangan pada upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim.

Baca juga: Rektor Unhas: Diperlukan peningkatan SDM hadapi perubahan iklim
Baca juga: Mahasiswa Unhas sulap emisi karbon jadi oksigen

Sementara Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur, mengatakan literasi perubahan iklim kepada generasi muda seperti mahasiswa sangat penting sebagai bagian upaya bersama penanggulangan perubahan iklim.

Mahasiswa yang sadar dan cerdas iklim dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam agenda-agenda pengendalian perubahan iklim, seperti pemanfaatan energi terbarukan dan penerapan pajak karbon.

“Energi terbarukan dan pajak karbon adalah bagian penting untuk mengurangi emisi karbon. Ingat, bumi tempat kita tinggal ini tidak selamanya mampu menampung peningkatan emisi karbon yang memicu terjadinya perubahan iklim,” kata Hayat Mansur.

Sementara Direktur Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mengatakan sudah lama kehadiran instrumen pajak karbon ditunggu-tunggu sebagai langkah kongkret untuk mengubah perilaku perusahaan yang selama ini menyumbang emisi karbon, sekaligus mengubah perilaku masyarakat.

Baca juga: Generasi muda diminta berkontribusi dalam aksi iklim jelang C20
Baca juga: Dampak perubahan iklim skala lokal sebabkan beragam fenomena bencana

Namun, Bhima mengatakan ada beberapa catatan penting yang perlu disempurnakan dari implementasi pajak karbon.

Pertama, pendapatan pajak karbon sebaiknya dialokasikan minimum 80 persen untuk sektor yang berkaitan secara langsung dengan penurunan emisi karbon seperti PMN kepada BUMN di proyek EBT, dan konservasi hutan lindung.

Kedua, penghitungan terhadap emisi karbon sebagai dasar penetapan besaran pajak karbon dilakukan secara transparan dan melibatkan stakeholder terkait.

"Ketiga, perlu dilakukan evaluasi rutin terhadap dampak pajak karbon terhadap penurunan emisi khususnya yang disumbang dari sektor energi dan transportasi,” jelas Bhima.

Sekretaris Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Sahid Junaidi, mengungkapkan Indonesia dianugerahi dengan banyak sumber energi yang berlimpah dengan potensi Energi Terbarukan 3.686 GW yang terdiri dari surya, air, panas bumi, angin, bioenergi dan arus laut.

Masa depan Indonesia ini sangat baik dari sisi resources, oleh karena itu generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan untuk terus concern dan berinovasi dalam pengembangan energi bersih di negeri ini guna mendorong percepatan transisi energi sebagai kunci dalam mencapai karbon netral.

Baca juga: Protokol Montreal disoroti Menteri LHK dalam isu perubahan iklim

Baca juga: Denmark puji Indonesia kurangi penggunaan pembangkit listrik batu bara

Baca juga: KLHK: Anggota G20 berkomitmen perkuat adaptasi perubahan iklim

Pewarta: Abdul Kadir
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022