Berdasarkan hasil kajian KPK dan LIPI pada tahun 2018-2019, jumlah kebutuhan keuangan parpol dalam satu tahun ialah Rp16.992/suaraJakarta (ANTARA) - Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2016-2018 menyebutkan perilaku koruptif dari para kader partai politik (parpol) pada saat menjabat disebabkan tingginya biaya politik pada saat pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dari survei KPK didapati fakta bahwa dana yang harus disiapkan para calon untuk menjadi bupati atau wali kota ialah Rp20 miliar-Rp30 miliar, sementara untuk posisi gubernur atau wakil gubernur, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp100 miliar.
Biaya tinggi tersebut menjadi pemicu kepala daerah melakukan berbagai cara guna mengembalikan modal tersebut.
Data KPK menunjukkan hingga Agustus 2022, sebanyak 310 orang anggota DPR dan DPRD, 154 orang wali kota/bupati dan wakil, serta 22 gubernur terjerat kasus tindak pidana korupsi.
KPK mengidentifikasi modus utama korupsi politik terjadi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dengan memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri atau kelompoknya, memuaskan pendukung atau sebagai kompensasi, maupun untuk memelihara sumber-sumber kekuasaan.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam webinar "Cegah Korupsi, Bantuan Parpol Jadi Solusi?" pada 16 September 2022 mengatakan gaji kepala daerah relatif tidak proporsional dengan beban kerjanya. Alhasil, mau tidak mau proses pengembalian modal tersebut dilakukan dengan cara korup.
Ketidakberimbangan tersebut mengakibatkan proses politik yang semestinya dilakukan secara hati nurani kemudian menjadi transaksi bisnis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sejatinya parpol memegang peranan penting di Indonesia. Undang-undang tersebut mengamanatkan lima fungsi strategis parpol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama, sarana pendidikan politik, kedua, sarana persatuan dan kesatuan bangsa, ketiga, sarana menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi masyarakat, keempat, sarana partisipasi politik warga negara, dan kelima, sarana perekrutan kader dalam proses pengisian jabatan politik.
KPK menganggap kedudukan parpol sangat strategis dalam mengusung pasangan calon dalam menghasilkan wakil rakyat, presiden, wakil presiden, serta kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas yang akan memimpin Indonesia.
Mengingat pentingnya kedudukan parpol dalam pilar kehidupan, KPK mengharapkan parpol menjadi pilar demokrasi sebagaimana tujuan berbangsa dan bernegara.
Kajian KPK dan LIPI juga menyimpulkan bahwa setiap parpol harus menjalankan lima fungsinya sebagaimana yang tertuang di dalam sistem integritas partai politik (SIPP), yaitu, standar kode etik, keuangan parpol dengan kejelasan sumber keuangan dan alokasi anggaran, rekrutmen kader yang baik dengan regulasi dan sistem.
Berikutnya, demokrasi internal parpol, yaitu demokratisasi dalam penentuan pengurus dan pengambilan keputusan dan kaderisasi dengan regulasi yang diiringi monitoring dan evaluasi.
Dana parpol
Untuk mengajak parpol mentaati SIPP, KPK bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) turut mendorong peningkatan dana subsidi bagi parpol. Hal itu perlu dilakukan karena dana parpol di Indonesia masih tergolong kecil, yakni Rp1.000/suara untuk di pusat dan Rp1.200-Rp1.500/suara untuk di daerah dari hasil pemilu terakhir.
Dalam webinar tersebut, Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendagri Tomsi Tohir Balaw menjelaskan pemenuhan keuangan parpol adalah sebuah langkah untuk mendorong parpol yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel.
Dengan meningkatkan dana parpol, akan mendorong peningkatan kualitas tata kelola keuangan parpol yang muaranya menciptakan integritas.
Oleh karena itu, Kemendagri bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berupaya untuk mendorong kenaikan bantuan keuangan kepada parpol berdasarkan baseline kebutuhan parpol.
Adapun nilainya, menurut Tomsi, berkisar di angka Rp3.000/suara untuk tahun anggaran 2023 mendatang. Kemendagri mengharapkan dengan adanya peningkatan bantuan keuangan parpol, kemandirian keuangan parpol terbentuk dan berkontribusi optimal dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang lebih berkualitas.
Pada saat yang sama, dengan bertambahnya bantuan keuangan, inovasi, dan pemberdayaan parpol untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan penguatan kapasitas kelembagaan dapat menjadi lebih baik.
Sementara itu, anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK Syamsuddin Haris yang juga mantan peneliti LIPI menjelaskan angka yang akan diajukan pada tahun 2023 merupakan skema 30 persen dari sistem kenaikan dana parpol.
Berdasarkan hasil kajian KPK dan LIPI pada tahun 2018-2019, jumlah kebutuhan keuangan parpol dalam satu tahun ialah Rp16.992/suara. Dari angka tersebut, negara bisa saja memberikan subsidi sebesar 50 persen, yakni Rp8.461/suara.
Haris menilai bahwa bagaimanapun subsidi negara pada parpol mestinya membuka peluang bagi mereka untuk memiliki otonomi secara finansial.
Hal itu dilakukan agar parpol tidak sepenuhnya "disuapi" oleh negara karena mereka bisa mencari sisanya secara mandiri melalui skema parpol masing-masing.
Senada, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyebut pada tahap awal ini, angka yang akan diusulkan adalah 30 persen di tahun pertama. Nantinya, jika parpol berkembang dan mengikuti SIPP, dana tersebut akan dinaikkan hingga 5 tahun ke depan hingga level 100 persen.
Jika akhirnya usulan tersebut disetujui, Pahala mengatakan harus dilakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Parpol secepatnya.
Alasannya, pada beleid tersebut belum dimasukkan tentang pemanfaatan SIPP dan anggaran subsidi parpol. Selain itu, Undang-Undang Nomor 2 tentang Parpol juga harus direvisi agar menjadi payung hukum yang kuat.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani memberikan apresiasi kepada pemerintah dan KPK terkait upaya menaikkan dana bantuan parpol. SIPP dikatakan akan menjadi sebuah upaya pencegahan korupsi di tubuh parpol itu sendiri.
Dalam mewujudkan demokrasi yang bersih dari korupsi, SIPP harus diterapkan sebaik-baiknya agar tercipta parpol yang sehat. Lebih dari itu bisa menciptakan pemilu dan pilkada yang berintegritas.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022